~PART TWO~

135K 6.5K 440
                                    

Mantan bakalan kalah sama masa depan. Tapi kalau masa depannya abal abal. Sorry sorry to say mending kita good bye
-Maya-

~·~


LANGIT di atas sana telah menggelap. Warna merah di ujung sebelah barat telah berganti menjadi biru pekat sejak tiga jam yang lalu. Bulan melingkar sempurna menggantung dipekatnya langit tanpa ditemani kerlipan bintang. Langit sunyi dan sepi. Hal itu juga tergambar pada sebuah rumah mewah yang berlokasi di komplek perumahan menengah atas yang ada di bilangan kota Jakarta.

Rembulan memancarkan sinarnya pada bangunan mewah berdesain kontemporer tersebut. Bangunan berlapis putih marmer yang di kombinasikan dengan batu alam yang berwarna coklat krem tersebut berdiri kokoh berjajar megah pada jajaran rumah yang serupa mewahnya.

Rumah tanpa pagar tersebut selalu terlihat sepi seakan tak pernah ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Baik itu saat terlihatnya matahari atau tidak, rumah bernomor 177 AE tersebut selalu terlihat sepi. Saking sepinya, bisa saja rumah mewah itu disewa untuk latar syuting film horror. Rumah itu hanya akan terlihat hidup saat pagi hari dimana sang pemilik rumah keluar dari rumah untuk berangkat sekolah, pembantu di rumah itu menyiram kebun tanaman, dan terlihatnya mobil mewah terparkir di sana, juga menyalanya lampu saat malam tiba.

Sebuah mobil melaju pelan dan berhenti tepat di depan rumah tersebut. Selang satu menit, seorang gadis keluar dari sana serta dengan bawaan belanjaannya yang menggantung pada kanan kiri tangannya. Ia sempat melambaikan tangan kanannya----yang menyebabkan paper bag di pergelangan tangannya bergoyang pelan----serta melempar senyum termanisnya. Setelah mobil yang dikendarai oleh Genta, cowok yang kini berstatus sebagai pacarnya sejak dua hari yang lalu melaju pergi dari hadapannya, Maya memutar tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah yang sepi itu.

Maya mendorong pintu utama untuk masuk, dan melenggang santai di dalam rumah beralaskan marmer itu.

"Non,"

Maya menoleh ke sumber suara dan mendapati pembantunya menghampirinya dari arah dapur. "Non udah makan?"

"Mama udah tidur mbok?" Tanyanya tak mengindahkan pertanyaan wanita paruh baya yang usianya berada di pertengahan lima puluhan itu.

"Udah Non, selesai makan Ibu udah langsung tidur." Beri tahu Mbok Sum. "Tadi awalnya gak mau tidur karena nungguin Non pulang dulu."

"Terus?"

"Tapi setelah dibujuk sama Mbak Rini buat minum obat, akhirnya Ibu tidur juga Non."

Maya mengangguk lega, "ya udah saya ke kamar Mama dulu ya Mbok."

"Eh, Non gak makan dulu?"

Pertanyaan dari wanita yang membawa serbet di tangan itu kembali tak diindahkan oleh Maya. Maya memasuki kamar tidur Mamanya yang temaram sebab lampunya yang telah padam. Dari sinar lampu tidur serta celah sinar lampu yang masuk lewat pintu yang terbuka, Maya menghampiri ranjang tidur Dewi di mana di sana si pemilik bibir pucat itu telah memejamkan mata karena terlelap.

Maya duduk di tepi ranjang sang ibu. Diraihnya tangan putih kurus itu dan didekapnya erat. Diamatinya wajah Dewi yang semakin hari semakin memucat serta tulang pipinya yang semakin terlihat tirus.

"...Surya..."

Dalam heningnya malam serta lembutnya desis angin yang berhembus, bibir pucat nan kering itu terbuka dan sebuah nama meluncur lirih yang terdengar seperti bisikan. Jika saja tempat ini tidak sesenyap kenyataannya mungkin tidak terlalu berefek pada Maya, tapi karena kondisi yang berlawanan, bisikan itu terdengar bagaikan teriakan di heningnya malam yang berhasil mengalirkan setitik darah di hati Maya. Satu nama itu berhasil memercikkan api kemarahan di hati gadis itu.

SCOMPARIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang