Seperti apa akhir dari skenario pemeran antagonis? Kebahagiaan? Jika di drama berakhir menyedihkan, bisakah ada pengecualian?
-Maya-~·~
ARASH mengetukan sepatunya ke ubin UKS. Tangannya terlipat ke dada, memunggungi Maya yang tengah berganti pakaian dengan sekat gorden yang menjadi penghalang di antara keduanya.
"Yang Bianca bilang sih gitu. Dia nggak terlibat. Bukan maksud gue belain dia atau apa," ujar Arash tanpa balasan dari Maya. "Dan untuk kerusuhan di lapangan tadi, mereka semua yang terlibat lagi di sidang kepsek di aula."
Maya tak menyahut dari balik gorden. Walaupun ia sudah selesai berganti pakaian, tapi ia masih belum siap menyingkap gorden. Karena sama saja dengan membuka sekat itu, ia harus menerima kenyataan untuk membuka hatinya. Menghadapi Arash yang masih ia cintai.
"Lo udah selesai ganti baju, May? Gimana seragam Bianca? Muat di tubuh lo? Gue perhatiin tubuh lo sama Bianca kayaknya punya ukuran yang sama. Jadi---" tiba-tiba Arash menghentikan ucapannya. "Maksud gue bukan selama ini perhatiin tubuh Bianca. Sumpah gue nggak pernah main mata waktu jalan sama lo, May. Gue---"
"Nggak papa kali, Rash. Kita kan udahan. Lo bisa kok jalan sama Bianca atau sama siapapun, itu bukan urusan gue lagi. Btw, seragamnya muat kok. Makasih."
Arash mengepalkan tangannya tak tahan. Dibukanya gorden dengan paksa. Maya yang menyadari itu terkejut dan semakin terkejut saat Arash tiba-tiba meraih kedua tangannya.
"May, percaya sama gue bukan gue pelakunya. Walaupun gue udah tahu dari awal tentang Ibu kandung lo, tapi gue nggak pernah bocorin itu ke sekolah bahkan ke media. Gue nggak tega lihat lo menderita, May. Kalo lo masih ngeyel gue pelakunya, oke gue terima asal maafin gue ya, May. Gue sayang sama lo dan nggak mau hubungan kita berakhir."
Maya hanya diam. Menatap Arash dengan pandangan tak terbaca.
"Gue nggak tahu lo bakal percaya atau nggak sama ucapan gue, tapi yang jelas bukan gue orangnya. Dia adalah Prita. Cewek itu yang mergokin lo di rumah sakit dan nyebarin rekamannya ke seluruh sekolah. Lo bisa tanya ke Vinka sama Resti karena mereka ikut ngelabrak Prita waktu itu."
"Kalo gue dendam sama lo, gue nggak bakal bela-belain nolongin lo di lapangan tadi. Gue nggak bakal blingsatan nyariin lo malam itu. Gue nggak bisa tidur waktu lo minta putus. Gue nggak mau, May."
"Waktu itu gue kan udah bilang." Maya berujar pelan.
Arash mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Lo masih ingat ucapan gue di kantin dulu? Gue bisa aja pacaran sama lo hari ini secara sah, lalu lusa hempas lo secara tak berperikemanusiaan."
"Dan lo pikir gue percaya? Lo kira gue nggak tahu kalo selama ini lo masih sayang sama gue?"
Mata Maya membulat menyadari sikap percaya diri cowok itu.
"May, apapun yang lo ucapan malam itu, nggak akan merubah hati gue. Karena gue yakin lo masih sayang sama gue dan lo putusin gue dalam bentuk amarah karena lo lagi dikuasai ego. Lo nggak bisa berpikir jernih dan minta putus gitu aja." Arash mengacak rambut Maya, "kayak anak kecil tau nggak."
Bibir Maya mencebik tak terima dikatakan anak kecil. Maya terlihat lucu di mata Arash, sebelum cewek itu memrotes, Arash sudah lebih dulu mendekap gadis itu ke dadanya. Memberikan pelukan menenangkan pada Maya.
"Intinya kita masih saling sayang, jadi jangan putus, ya?"
Dalam pelukan Arash, Maya mendengus. "Tapi gue masih belum sepenuhnya percaya sama omongan lo, ya? Gue bakal minta bukti. Jangan lupa soal Bianca, gue yakin tuh cewek caper minjemin nih seragam."
KAMU SEDANG MEMBACA
SCOMPARIRE
Roman pour Adolescents[Completed] "Pelanggaran pertama, melanggar tata tertib sekolah dengan tidak mengikuti upacara." "Basi." "Pelanggaran kedua, memakai sepatu yang selain warna hitam bertali putih." "Heh Pak, ini tuh sepatu baru gue. Harganya tuh mahal. Lagian ini gue...