~FOURTY ONE~

55.4K 3.3K 62
                                    

Manusia memang pandai memainkan peran. Mengumpat di belakang dan memuji di depan.
-R-

~·~


PEMUDA itu mengambil langkah maju. "Ayolah, Mbok." Arash kembali membujuk. "Kasih tahu saya di mana Maya?"

"Den mau minum apa? Biar Mbok buatin." Mbok Sum mengalihkan pembicaraan.

Arash menghembuskan napas. "Apa aja asal nyegerin, Mbok," sahut pemuda itu kemudian. Dirinya memang kehausan akibat terlalu banyak bicara karena menceramahi Prita.

Arash mendudukan diri di sofa ruang tamu rumah Maya. Memijat pelipis yang berdenyut karena pusing yang menyerangnya.

"Ini, Den." Mbok Sum meletakkan gelas kaki berisi sirup merah ke atas meja.

Arash mengucapkan terima kasih lalu meminumnya hingga setengah. Lalu menoleh memandang Mbok Sum yang berdiri menunduk.

"Sini mbok, duduk di samping saya." Arash menepuk sofa kosong di sampingnya dengan tangan. "Sini Mbok, gak papa. Maya pergi, kan?"

Mbok Sum melirik takut-takut. "Aden sebaiknya pulang. Udah sore, Den."

"Kasih tahu saya dulu di mana Maya, Mbok?"

"Saya beneran ndak tahu, Den."

"Bohong sekali nggak bakal bikin Mbok Dipecat kok. Kalaupun iya, saya akan belain Mbok."

"Tapi Den--"

Mbok Sum belum menuntaskan kalimatnya, Arash sudah bangkit dan menuntun wanita tua itu duduk di sofa sementara Arash menempatkan diri di sampingnya. Lalu dengan pelan memijat kedua pundak wanita berambut putih itu.

Mengetahui tindakan Arash, Mbok Sum pun menolak. "Den,"

"Nggak papa, Mbok. Nikmatin aja." Arash kukuh memijat.

"Tapi den Arash--"

"Mbok Sum pasti capek. Iya, kan? Setiap hari kerja bersih-bersih rumah sebesar ini. Nyuci pakaian, nyetrika--"

"Tapi saya kadang nggak sendiri kok, den. Dik Rini biasanya bantuin saya."

"Kalau Maya gimana, Mbok? Pernah bantuin?"

"Non Maya," Mbok Sum nampaknya ragu mengungkapkannya.

"Nggak pernah 'kan Mbok?" Arash mendahului, lalu menghembuskan napas dan mengalihkan pijatan ke tangan Mbok Sum. "Maya kalau di rumah gimana, Mbok?"

Ada diam yang bertahan lama. Sampai Mbok Sum siap menceritakannya.

"Non Maya baik, Den," ada kekhawatiran di intonasinya. "Non Maya baik banget sama mbok. Walaupun nggak pernah bantu-bantu, tapi Non Maya selalu nyuruh saya buat istirahat walau cara bicaranya nggak ada halus-halusnya. Non Maya sayang sama Nyonya. Dia juga baik sama Dik Rini. Aslinya dia itu orang yang baik, Den."

"Saya juga tahu kalau Maya aslinya baik, Mbok." Arash menerawang. "Dia pernah curhat, Mbok?"

"Nggak pernah, Den. Non Maya selalu bahagia di depan Nyonya, tapi kalau di hadapan saya atau Dik Rini dia nggak pernah nyembunyiin itu. Walaupun begitu Non Maya nggak pernah cerita. Soal teman-temannya pun nggak ada yang pernah berkunjung. Padahal setiap hari Non Maya telponan sama teman-temannya, mabuk sama teman-temannya, kadang juga saya lihat Non Maya diantar pakai mobil temannya. Tapi nggak ada yang pernah datang ke rumah ini Den." Begitu banyak cerita yang tertuang tanpa dicegah air mata pun mengucur di balik kelopak mata yang keriput itu. "Kadang saya itu kasihan kalau ngelihat Non Maya tidur di kamar apalagi kalau habis mabuk dia pasti meracau bahkan menangis. Saya merasa kalau Non Maya itu sendirian walaupun punya banyak teman, Den. Non Maya..."

SCOMPARIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang