~TWENTY THREE~

65.7K 3.8K 143
                                    

Hubungan kita kayak mecahin rumus matematika. Setelah mecahin x di suruh mecahin y, bagus kalau setiap permasalahan bisa di selesaikan, kalau hasilnya tetap zonk, tandanya kita masih harus banyak belajar.
-Arash-

~·~

MAYA memutar setirnya ke kiri mengikuti alur yang diambil laju motor di depannya, memasuki pemukiman warga dengan susunan rumah yang tidak begitu tertata rapi. Sepanjang Jalanan yang tidak begitu lebar untuk berhasil memuat mobilnya. Beberapa anak kecil bermain di sepanjang pinggir jalan, pedagang-pedagang lewat silih berganti, ibu-ibu rumah tangga berkumpul entah membicarakan apa, yang jelas bukan arisan. Pakaian yang mereka kenakan bukan pakaian mahal dan glamour, terkesan biasa dan sederhana. Kontras sekali dengan wilayah perumahannya yang rata-rata sepi.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang lumayan luas sehingga Maya dapat memarkirkan mobilnya di sana. Rumah itu tidak besar yang bagi Maya justru terkesan kecil karena viewnya akan kebanting jauh jika dijajarkan dengan rumahnya yang setara dengan istana.

"Ini...., rumah lo?" Tanya Maya dengan mata tak lepas dari bangunan minimalis dengan perpaduan warna putih dan kuning gading.

"Bukan rumah gue, tapi orang tua gue." Dengus Arash sambil lalu, meninggalkan Maya yang masih berpijak di tempatnya.

Maya mengikuti Arash dengan bersungut karena mendengar ucapan yang dilontarkan cowok itu. Selanjutnya kegiatan yang dilakukan Arash berhasil menyita perhatian cewek itu. Arash menjatuhkan pantatnya di ubin teras rumahnya. Melepas sepatu yang dikenakannya, juga kaus kakinya. Arash mendengus melihat Maya yang hanya diam mengamatinya tanpa melakukan apapun.

"Lo ngapain berdiri kayak gitu?" Tanya Arash setengah mendongak,  masih dengan melepas sebelah sepatunya.

Maya balik bertanya, "Lo sendiri ngapain duduk di ubin ngelepas sepatu?"

Arash melengos, ia baru sadar bahwa gadis di hadapannya terbiasa hidup enak yang biasa masuk rumah tanpa melepas sepatu karena tidak pernah merasakan repotnya membersihkan lantai.

"Sini duduk." Arash menepuk tempat di sisinya.

Terlebih dahulu, Maya meneliti ubin lantai apakah bersih untuknya duduk atau tidak dan hal itu mengundang helaan nafas dalam dari Arash.

"Ubinnya bersih elah." Arash berujar seolah mengerti apa yang dipikirkan gadis bersweater navy itu.

"Siapa tahu aja kotor, ada debunya."

Arash terpaksa turun tangan jika tidak ingin berdebat dengan Maya yang tetap kukuh dengan pendiriannya. Arash membersihkan lantai di sampingnya yang nantinya akan diduduki oleh Maya dengan tangannya.

"Puas?"

Maya justru melempar senyum manis pada wajah Arash yang masam.

"Lepas sepatu dan kaus kaki lo."

"Haa?"

"Lakuin aja."

Maya akhirnya menurut.

"Gue orang kecil. Tinggal di perkampungan biasa kayak gini. Bukan perumahan kayak lo." Ujar Arash sembari memandang lingkungan sekelilingnya, diikuti Maya yang juga ikut mengitarkan pandangan ke sekeliling.

Rumah-rumah berdempetan tanpa batas wilayah. Hewan peliharaan berkeliaran di setiap halaman rumah. Seperti contohnya saja ayam jantan yang sedari tadi berkokok mengganggu pendengaran Maya yang tak biasa. Beberapa orang hilir mudik entah kemana. Suara tetangga sebelah yang sedang merumpikan aktor tanah air pemain serial motor-motoran yang terlibat kasus narkoba bahkan terdengar ke telinga Maya. Suara guyonan anak kecil yang sedang bermain pun turut menambah kebisingan suasana. Berbeda seperti di rumahnya yang sunyi tanpa suara kecuali suara bunyi-bunyian dari kendaraan yang berlalu lalang dari jalan utama kota Jakarta yang terdengar sampai rumahnya.

SCOMPARIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang