~THIRTY SEVEN~

58.6K 3.4K 105
                                    

Kehadirannya meniup segala keburukan. Terbang terbawa hembusan sang angin, tanpa meninggalkan jejak, lalu menghilang.
-Maya-

~·~

"GUE juga bisa minta putus kalo lo ikut balapan lagi. Jangan lo pikir gue nggak tahu lo dapat memar ini dari mana."

Arash sukses terbungkam. Pandangannya memang tak terangkat. Masih menjurus pada lembar kerja siswa yang terbuka di kedua telapak tangan. Tapi Maya tahu rahang cowok itu kini mengeras dengan tatapan tajam yang seakan dapat membakar soalan-soalan matematika yang terpampang.

"Ada tawuran di arena semalam, kan?" Maya berucap pelan memecah kesunyian. "Vinka yang cerita. Vinka udah larang Vino buat datang, tapi Vino tetap ngotot hingga akhirnya mereka putus. Akibat tawuran itu Vino di rumah sakit sekarang." Jelasnya panjang lebar.

Maya menjeda ucapannya. Memberikan kesempatan pada Arash untuk melanjutkan. Tapi bibir cowok itu tak kunjung terbuka.

"Lo ada di arena itu semalam, kan?" Tanya Maya akhirnya.

Arash menghembuskan nafasnya kasar. "Gafar yang--"

"Iya gue tahu." Sela Maya. "Lo emang kerja buat Gafar. Dia itu bastard, cemen. Karena kecelakaannya tahun lalu yang buat sebelah matanya buta ia jadi nggak bisa balapan lagi. Dan cowok itu make lo karena lo punya keahlian di sana."

Kini Arash mengangkat pandangannya. Maju selangkah untuk menangkup kedua pipi Maya ketika cairan bening terlihat keluar dari sana.

"Gue tahu Arash pasti bisa nolak. Arash pasti bisa ngelawan karena tahu balapan itu nggak baik. Tapi karena kondisi keluarga lo, lo masa bodoh dengan itu. Lo ambil tawaran Gafar bahkan menjadikan itu sebagai pekerjaan lo--"

Arash menahan bibir Maya dengan telunjuknya, sehingga cewek itu terpaksa menahan kalimatnya. "Stop. I'm so sorry. Gue minta maaf. Gue nggak apa-apa. Ini cuma luka kecil."

Maya mengulurkan tangannya turut menangkup wajah Arash dan sengaja menakan lebam ungu di pipinya sehingga Arash terpaksa meringis tertahan. Tetapi Maya tak menghentikan aksinya. Ia terus menekan pelan lebam biru itu.

"Gue nggak mau lihat lo terlibat lagi."

"Sshiya... ah." jawab Arash di tengah kesakitannya.

"Masalah kondisi keluarga, gue bakal bantu. Gue usahain cari pekerjaan paruh waktu buat lo."

Arash tersenyum tipis dan meraih jari tangan Maya yang masih menekan lukanya. Ia kecup jari Maya dengan lembut.

"Lo lucu." Ujar Arash semakin menarik ujung-ujung bibirnya tersenyum lebar.

"Apasih?" Tanya Maya ikut menarik senyumnya. "Gue tahu gue emang lucu, tapi gue nggak lagi ngelucu dan btw gue habis nangis gemay barusan."

Masih dengan tersenyum, Arash menyahut, "Dulu lo suruh-suruh gue buat balapan dan gabung ke dunia malam. Dan sekarang?" Arash mengakhirinya dengan kekehan.

Maya merengut. "Itu, kan dulu."

"Emang kalo sekarang?" Tanya Arash menancing.

"Karena sekarang lo pacar gue, jadi gue tarik. Lo nggak boleh masuk ke dunia kayak gitu. Kayak gini aja, kencan sama buku, sama gue, ngajarin mtk."

Arash tersenyum lebar ketika melihat Maya menarik senyumnya sampai matanya menyipit.

"Jadi itu aturan lo karena kita pacarannya udah sah nih?"

Maya mengangguk.

"Kalo gitu," Arash memberikan tatapan tajamnya pada Maya, "gue juga punya aturan buat lo."

SCOMPARIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang