EPILOG

110K 3.9K 235
                                    

"Yah, hari ini bakal pulang cepet, kan?"

"Mana ayah tahu. Kamu tanya sama Bunda."

Maya mencebikkan bibirnya. Kalo ia bertanya pada Dian bukan jawaban yang ia terima, lebih tepatnya dapat serangan balik.

"Memangnya kamu mau ke mana? Mau keluyuran lagi, ya? Atau pacaran? Kamu itu udah kelas dua belas, kamu bla bla bla."

Membayangkannya sudah membuat Maya memutar bola mata.

"Tanyain dong, Yah." Maya mulai merajuk. Menggoyang tangan Surya seperti anak kecil. "Kalo May yang tanya pasti nanti diserang balik."

Surya mendesah. Mengecek arloji di pergelangan tangannya. Sebentar lagi ia ada rapat. Jika Maya sudah merajuk seperti ini, yang bisa dilakukannya untuk mempercepat keadaan adalah mengiyakan.

"Iya, iya. Nanti Ayah tanyain. Sekarang kamu masuk sana. Cari kelas, cari teman yang baik-baik, belajar yang rajin."

Maya mendesah. Tapi tak merespon banyak selain mengangguk lalu menyalami tangan Surya. Begitu Maya keluar dari mobil, tatapan seluruh siswa-siswi terpancang padanya. Seperti biasa, Maya yang dulu maupun Maya yang sekarang, selalu menjadi pusat perhatian. Jika dulu ia bersikap cuek atau kadang membalas dengan pelototan, Maya yang sekarang sudah berbeda. Ia justru membalas tatapan mereka dengan melempar senyum.

Sebelum melangkahkan kakinya memasuki sekolah lebih dalam, Maya merasakan seseorang berjongkok di hadapannya dan menali sepatunya.

Lalu Maya tersenyum.

"Apasih, Rash? Dilihatin tuh."

"Keselamatan kamu lebih penting." Arash mendongak. "Makanya lain kali sepatu ditali yang bener."

"Tali sepatunya lepas? Kok aku nggak nyadar?" tanyanya pada diri sendiri.

Arash bangkit selesai mengikat sepatu Maya dengan benar. Cowok itu memperhatikan penampilan Maya, membuat Maya ikut memperhatikan penampilannya sendiri.

"Kenapa?" tanya Maya polos.

"Kenapa?" gemas, Arash mengacak poni gadis itu. "Aku kan suruh kamu ikuti petunjuk peraturan sekolah. Seragam kamu harusnya dimasukin."

Maya berdecak. Berjalan mendahului yang segera disusul cowok itu. "Yang penting kan seragam aku udah nggak ketat, lagian aku juga udah pake dasi. Pake dasi!"

"Rambut kamu juga masih warna."

"Cari-cari aja terus kesalahan aku. Sampai putus."

Arash gelagapan. "Ancaman kamu mah itu terus. Diganti dong."

"Soalnya cuma dengan ancaman ini kamu bisa takluk." Maya memeletkan lidahnya mengejek.

"Enggak dulu enggak sekarang, ambisi kamu buat naklukin aku masih gede, ya?"

Acakan lagi. Membuat Maya harus kembali merapikan poninya.

"Kamu mau ke mading, kan? Kita lihat kelas sama-sama," lalu Maya merapat pada lengan cowok itu. "Semoga kita sekelas."

"Jangan deh, aku takut nggak fokus," jawab Arash jujur yang berhasil mendatangkan tawa Maya. Sampai terbatuk-batuk. Praktis Arash jadi khawatir. "Kamu baik-baik aja?"

SCOMPARIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang