15. Distance - Alone

3.3K 382 37
                                    

Rasanya aneh. Sepi saat kau tak lagi kurasakan.

***

Sapuan lembut di kepalanya membuat Key mendongak. Menemukan Devan di sisinya, rapi dengan setelan kerja. Key tidak mengatakan apa pun. Sementara Devan merendahkan tubuhnya di samping kursi rodanya.

"Aku hanya pergi sebentar. Jangan kemana pun atau lakukan apa pun. Aku mencintaimu." kecupan sayang singgah di pelipisnya, Key hanya mengangguk pelan.

Sesaat setelah Devan menghilang bersama Renata dengan mobilnya. Key merasakannya lagi. Rasa kesepian dan kegelisahan.

Tangannya yang gemetaran meraba perutnya. Penuh kehati hatian seolah itu adalah kaca yang rapuh. Yang jika pecah, tak akan bisa kembali lagi seutuhnya.

Key nelangsa.

"Sayang..." panggilnya. Suaranya bergetar oleh rasa harap.

"Mama di sini nak..." Key terisak. Sekali merasa hampa. Kenyataan dokter yang membuatnya merasa takut. Perasaan sebagai seorang ibu yang berlebihan. Ketakutan yang membayangi dirinya hingga sedemikian rupa.

Sudah 3 hari semenjak kejadian itu, Key tidak pernah lagi merasakan aktivitas bayinya walaupun sedikit. Di usia kandungannya yang mencapai tujuh bulan, semuanya terasa ganjil.

Pikiran positif yang coba ia terapkan, nyatanya tidak mampu mengalahkan perasaan negatif akan rasa takutnya.

***

Key memacu kursi rodanya, mencapai pintu kamar untuk mengambil ponselnya di dalam sana.

Nomor asing yang terpampang di layar tidak menjadi masalah. Key malah mengangkatnya.

"Halo ?"

[Kakak.]

Key mengernyit. Merasa familiar dengan suara ini. "Ini..."

[Ini Vin.]

Mata Key membola. "Vin ?"

Terdengar kekehan di seberang. [Kakak. Aku mendapat beasiswa di universitas kota. Aku butuh tempat tinggal sementara selama aku mencari rumah sewaan. Bisakah aku ke tempatmu beberapa waktu ?]

Key menaikkan alisnya. "Itu bagus. Di sini masih ada ruang kosong. Kau dimana ?"

Terdengar seruan dari seberang. [Ahh terimakasih. Aku ada di stasiun.]

"Baiklah. Nanti akan kakak kirimkan alamatnya. Maaf kakak tidak bisa menjemput."

[Iya.]

***

Key mengulas senyum kecil melihat pemuda di depannya. Laki laki yang lebih kecil darinya itu bungkam saat melihatnya. Kerutan dalam tercipta di dahinya.

"Kenapa tidak mengabari rumah ?" tanya pemuda itu.

Key tersenyum. "Ini bukan hal buruk."

"Itu buruk !" serunya sang pemuda. Gurat gurat marah terlihat di wajahnya yang belia.

Key tidak menjawab.

"Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang membahayakan ? Apa kakak juga tidak akan memberitahu ? Sejak pernikahan, kakak juga jarang sekali menghubungi rumah."

"Vin..." desah Key di kursinya. "Maaf jika ini membuatmu khawatir. Tapi kalau aku memberitahu ibu, kau pikir bagaimana reaksinya ?"

Pemuda bernama Vin itu bungkam. "Setidaknya beritahu aku. Akukan adikmu." katanya.

Key tersenyum tipis. "Iya adikku. Sekarang segeralah masuk, lalu berkemas." Key mundur membuat Vin mendesah lalu menyandang kembali tasnya yang lumayan besar.

Like A MazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang