Mereka bertemu dalam suasana tidak baik. Mereka mulai saling bicara dengan teriakan. Mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain.
"Haah apakah selalu macet seperti ini ? Kalau begini aku akan terlambat." Vin menjulurkan kepalanya keluar jendela sembari mendesah. Laki laki muda itu mengipaskan tangannya kepanasan.
Terdengar suara dengusan dari sebelah kirinya. "Menurutmu ini salah siapa ?"
Raut Vin berubah datar. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok tanpa mengatakan apa apa.
Suasana hening hingga Adam memulai kembali percakapan. "Ikutlah denganku nanti setelah kelasmu selesai." katanya.
Vin menoleh. "Kemana ?"
Adam menjilat bibirnya. "Mencari gitar baru."
Vin mendengus. "Aku kan tidak minta ganti."
"Tapi aku ingin." sahut Adam menoleh padanya. Menatap tepat di mata.
"O-oke." Vin mengalah lalu kembali menatap ke depan.
"Tapi..." Vin menjeda. "Jangan paksakan dirimu."
Adam menoleh. "Aku sudah memaksakan diriku." katanya. "Kenapa kau tidak mengingatkanku dari awal ?" lanjutnya lalu menaikkan kopling dan menjalankan mobilnya.
Sepanjang jalan tanpa percakapan. Jari jari nakal Vin sibuk menekan nekan play list musik setiap lima detik sekali. Kemudian pemuda itu menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas lelah.
"Kita harus bicara." katanya.
"Bicara apa ?"
"Ya apa saja !" seru Vin. "Aku benci menjadi bisu seperti ini."
Adam mengangkat alisnya. "Kenapa tidak kau saja yang bernyanyi dan aku akan mendengarkan."
Vin melirik Adam. "Masih terobsesi mendengar suaraku ?"
Raut Adam berubah. "Kau bahkan tak ingin membiarkan aku mendengar suaramu walau sebait. Apa susahnya ?"
"Aku tidak mau. Dengarkan saja radio jelekmu ini." Vin melengos sedangkan Adam mengatupkan mulutnya.
***
"Kau berlebihan."
"Bukan. Ini soal persaudaraan. Kakak sudah disakiti terlalu banyak. Dan entah kenapa aku benci mereka."
"Persaudaraan ? Kau pikir kau sama dengan Kakak ?"
"Tidakkah terlihat mirip ?"
"Mirip pantatmu ?! Pria bengal macam kau ? Ck ck..."
Adam melipat kedua tangannya di depan dada. Bahu kirinya bersandar pada sisi pintu sambil menatap tiga orang pemuda belia yang sedang membicarakan kedatangan mereka.
Senar gitar berdenting lembut seiring senandung merdu yang mengambang di udara. Jemari terampil memetiknya yang meninggalkan kesan.
Adam mengedip, "Oh ya ?" sahutnya.
Ketiga remaja itu tersentak lantas menatapnya dengan raut kaget. Adam menggaruk kepalanya dengan rambut awut awutan lalu mendudukan dirinya di salah satu kursi kosong.
"Kepalaku sakit." keluhnya membuat ketiga remaja itu berkenyit bingung.
"Bisakah kau menyanyikan sebuah lagu untukku ?" tanya Adam.
"Tidak." jawab yang paling muda sambil memeluk gitarnya.
"10 ribu ?"
Pemuda itu melotot. "Kau pikir aku pengamen ?!!" serunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Maze
RomansaHidup itu tak ubahnya labirin. Banyak kelok yang kadang menyesatkan. Kadang menjadi petaka. Kadang berbuah manis pada akhirnya. Tak ada yang dapat menebak jalan labirin tanpa berusaha. Pada akhirnya, kita hanya akan berputar putar di tempat yang sam...