BAB 1. Hujan Pembawa Pertemuan

106K 4K 104
                                    

Hujan turun dari jam enam sore. Dua jam telah berlalu, Air mulai menggenang di jalanan yang berlubang. Tidak terlihat pengendara roda dua yang melintas, Hanya pemilik roda empat yang dengan sombong melintas dengan kecepatan tinggi. Menghiraukan cipratan air dari ban mobil mereka mengenai orang yang sedang berteduh. Derasnya air hujan tidak menghentikan seorang kakek yang mendorong becak dengan tertatih. Ia tidak ingin berteduh karena keluarga sudah menunggu. Bajunya basah, tubuhnya bergetar, namun raut wajahnya terlihat sangat bahagia. Karena hari ini ia bisa makan enak bersama keluarga, itu yang terpenting.

Mereka orang-orang bahagia dengan cara sederhana. Ketika kerja kerasnya begitu di hargai, kepulangannya sangat di tunggu. Walaupun bukan makan di rumah makan yang mewah. Namun, kebersamaan yang membuat itu jauh lebih mewah dan tak terbeli dengan uang.

Kencangnya angin hingga membuat dedaunan runtuh dari tangkainya menambah suasana malam semakin mencengkam. Padahal masih pukul tujuh malam. Jalanan yang memang sepi. Hanya ada satu Kedai pinggir jalan yang masih buka di sebelah pohon besar yang usianya lebih dari seratus tahun. Satu persatu orang singgah dan pergi dari depan Kedai hanya untuk berteduh. Ada yang memilih nekat menerobos karena merasa hujan tidak akan reda. Mereka takut jika terjebak lebih lama di jalanan yang terkenal angker dan sering terjadi perampokan ataupun begal.

Seorang lelaki yang satu-satunya masih bertahan di Kedai itu. Bersama secangkir teh hangat untuk yang ketiga kalinya. Sengaja ia minum perlahan menunggu hujan reda. Tidak ada pelanggan selain dirinya. Perlahan, motor yang parkir di depan berkurang satu persatu. Berbeda dengan satu jam yang lalu, semua orang berdesakan.

Hujan sudah mulai reda. Lelaki itu meraih jaket di sebelah tempat duduknya. Membayar pesanan. Mungkin salah satu faktor menyeramkan melewati jalanan itu adalah pemilik Kedai. Badannya yang besar dengan tato di sekitar tubuhnya. Tatapan tajam dan wajah tidak bersahabat. Pelanggan laki-laki saja malas untuk membeli atau sekedar singgah di sana, apalagi perempuan. Berjualan hanya sekedar alibi. Pikir semua orang.

Lelaki itu sudah berdiri di depan Kedai, kaki kananya melangkah namun ujung sepatunya langsung basah. Ia mendongak, sepertinya hujan tidak ingin ia pergi dari sana. Tubuhnya bersandar pada kayu dengan kedua tangan ia masukkan ke saku jaket.

Percikan dan ringisan kecil yang awalnya terdengar jauh semakin lama semakin mendekat. Langkah yang lebar dan hembusan nafas lega saat berhasil berteduh. Rambutnya yang di kuncir satu menjadi basah dan anak rambut sudah banyak keluar dari ikatan sang pemilik. Nafasnya naik turun dengan cepat. Jemari cantiknya membersihkan tas punggung berwarna putih yang ia pakai di depan dada.

Lelaki yang bernama lengkap Miguel Triosmidreas, menatap perempuan yang berdiri di sebelahnya. Aroma bunga Lavender langsung masuk indra penciumannya. Untuk sesaat dunia Migel terhenti. Suara deras rintik hujan yang jatuh pada seng Kedai tidak terdengar bising. Waktu begitu lambat seakan ini adegan film horor paling mencengkam.

Perempuan berkacamata itu mengedarkan pandangannya ke dalam Kedai. Terlihat takut saat matanya bertatapan dengan sang pemilik. Memberikan seulas senyuman lalu menatap jalanan. Migel melihat semua itu. Bagaimana caranya tersenyum. Kaos putih polos yang dikenakan tampak basah memperlihatkan pakaian dalamnya. Migel paham kenapa perempuan itu terus memeluk tasnya. Perempuan itu menatap Migel sebentar dan memberikan seulas senyuman sopan sebelum memberi jarak padanya.

Meskipun satu detik, Migel sudah merekam wajahnya. Tingginya hanya sebatas dadanya, berarti ia memiliki tinggi berkisar seratus enam puluh centimeter. Di balik kacamata yang sepertinya hanya sebagai penunjang penampilan. Bulu matanya lentik. Alisnya yang terukir rapi, bukan karena hebatnya pensil alis. Migel yakin itu alami. Hidungnya mungil, bibirnya yang kecil namun sedikit padat di bagian bawah, ketika tersenyum ada lesung pipi. Migel baru menyadari saat perempuan itu tersenyum padanya. Kulitnya putih bersih, leher jenjang itu berhasil membuat mata Migel tidak teralihkan.

Don't Touch Her!!  [SUDAH ADA VER. EBOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang