BAB 2. Diantara Kemacetan

51.4K 3.1K 38
                                    

Getaran dilengannya membuat Migel mengerjap. Meraba benda persegi panjang yang berhasil membangunkan tidurnya. "Em? Terserah mau dimana." Sambungan terputus. Ponsel itu masih menempel ditelinga Migel. Pemiliknya kembali terlelap.

Migel kembali terganggu saat seseorang menggoyangkan tubuhnya, awalnya pelan namun semakin keras bahkan disertai pukulan.

"Gel!? Gel?! Migel kaki lo kena lengan gue! Bangun, Udah jam sepuluh, Gel!?" Migel mengerjap. Mengulet untuk melenturkan otot tubuhnya. Ketika nyawanya kembali terkumpul, Migel bangkit, duduk dipinggir kasur dengan khas wajah bangun tidur.

Perempuan yang membangunkannya sedang membersihkan keningnya dari pensil alis yang melenceng karena kesenggol kakinya. Migel mengusap wajahnya, mencari pakaiannya. "Mau kemana?"

"Kuliah, lo lupa kalau gue masih mahasiswa?" Tanya Livesey menatap Migel lewat pantulan kaca. Migel manggut-manggut sembari mengenakan pakaiannya. "Lo, nggak kuliah?"

"Lupa jalan ke sana," Sahut Migel ringan. Ia masuk ke kamar mandi. Membasuh wajahnya sebelum menghampiri Livesey kembali. "Lo gak punya sesuatu buat penghilang rasa kering di tenggorokan?"

Livesey memeriksa wajahnya sekali lagi, alis sudah terukir sempurna, bibirnya sudah di poles lipstik berwarna pink. Rambutnya sengaja digerai, karna Livesey sering memainkan rambutnya ala Nagita Slavina. Ia memutar tubuhnya menatap Migel. "Minum gue habis, tukang galon belum kesini," Livesey mengerutkan alisnya, menatap Migel tajam dengan tangan yang terlipat didada, bukannya menyeramkan tapi lucu bagi Migel.

"Kebiasaan banget datang malam-malam langsung nerkam. Untung gue lagi nggak berdarah. Kenapa lo? Kesetanan banget semalam. Lo pasti bayangin cewek lain kan waktu main sama gue?!"

Livesey Zahera. Satu-satunya perempuan beruntung yang dekat dengan Migel. Livesey sendiri yang mengatakannya. Hubungan mereka hanya sebatas ranjang. Livesey akan selalu ada jika Migel membutuhkan.

"Gue pergi," Hanya itu yang Migel katakan sebelum meninggalkan Livesey. Selalu seperti itu. Datang tak diundang, pulang tak diantar.

Dua jam sudah Migel duduk disebuah kafe. Perutnya sudah terisi penuh, ia malas pergi dari sana karena paketnya habis. Migel bisa main game online sepuasnya di sini karna wifi gratis. Kakinya ia luruskan dikursi sebelahnya. Wajahnya serius menatap layar ponsel. Sesekali berdecak kesal karena kalah.

Para pelayan dan tamu memperhatikan Migel sejak lelaki itu membuka pintu pertama kali. Mereka berbisik membicarakannya. Migel bukan lelaki yang bisa membaca situasi, ia bahkan tidak pernah sadar telah menjadi pusat perhatian berkat wajah tampannya.

Di ambil lagi ponsel miliknya yang sempat ia abaikan karena kalah bermain Game. Berniat mengulang dari awal. Harapan itu hancur ketika ponsel miliknya berpindah tangan. Migel hendak berteriak emosi karna kesenangannya diganggu. Bibirnya sudah terbuka, siap mencaci orang itu namun akhirnya tertutup kembali. "Hai, Gel. Udah lama nggak lihat lo,"

Migel merebut paksa ponselnya. Perempuan tersebut menatap Migel dengan alis terangkat satu. Migel yakin, Tiara menyulam alisnya. Tidak ada alis serapi dan sehitam itu kecuali perempuan yang Migel temui dua minggu yang lalu.

Kok gue bandingin alis cewek, sih.

"Gue mau bicara sama lo." Tiara menarik kursi dihadapan Migel. Meletakkan tas branded miliknya di meja.

Migel menatap dengan kening berkerut.

"Soal pertunangan," Mendengar itu, Migel menghembuskan nafasnya malas. "Dengerin gue dulu. Lo pikir gue mau tunangan sama lo? Gue juga punya cowok yang lebih ganteng dari lo. Jadi, jangan berpikir gue setuju aja dengan pertunangan ini."

Don't Touch Her!!  [SUDAH ADA VER. EBOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang