IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil GePROLOG
Diunggah pada: 27/09/2017
Revisi: --/--/----***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
PROLOG
Sebelum semuanya ....Kiai Rasyid berjalan penuh kewibawaan di bawah selimut malam. Gemintang yang membenik di petala langit gulita berkelip ibarat butiran tasbih yang menggenapi setiap embusan dzikir dan derap langkahnya. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin. Bersama temaram lampu-lampu yang menyorot dari teras rumah penduduk, para malaikat mungkin saja sedang berebut memunguti dzikir itu dengan jengah. Sebagai penanda, ayam jago ikut bersuara menyambut malaikat-malaikat tak kasat mata.
Langkahnya tertuju pada pesantren sederhana miliknya. Ini menjadi hal yang selalu dilakukan oleh beliau setiap sepertiga malam, yaitu membangunkan para santri untuk segera bangkit dan memulai aktifitas ibadah. Kerendahan diri yang begitu patut diteladani. Beliau ingin melakukan tugas itu dengan tenaganya sendiri, tanpa meminta bantuan Rais [1], dewan santri atau bahkan Ustadz pengajar. Namun karena itu sudah menjadi kebiasaan, tidak jarang justru gerbang pesantren sudah terbuka dan para santri sudah bangun ketika Kiai Rasyid sampai di pesantren, seperti malam itu.
Tubuhnya memang tegap, tapi Kiai Rasyid selalu membawa sebuah tongkat penjalin yang sudah menguning ke mana pun beliau pergi. Beliau memasuki gerbang pesantren kemudian. Kedatangannya langsung di sambut oleh seorang Ustadz yang sudah berpakaian santun, namanya Ustadz Hanif.
"Assalamualaikum, Kiai," sapanya sambil berusaha membungkuk minta salaman. Tapi entah kenapa dia seperti tidak pernah berhasil mencium tangan Kiai Rasyid dengan sempurna, sebab tangan itu seolah lekas menarik diri tak ingin dicium. Padahal mencium tangan beraroma misik itu adalah impian para santri di sana, termasuk Ustadz dan warga desa. Tapi itulah Kiai Rasyid yang tak ingin dipandang lebih tinggi hanya karena dia berstatus sebagai pengasuh pesantren.
"Waalaikumsalam, santri sudah pada bangun, Nif?" tanya Kiai Rasyid dengan suaranya yang selalu terdengar menenteramkan.
"Inggih, sampun Kiai [2]. Tapi belum semuanya," Ustadz Hanif menjawab dengan sebuah debaran. Entah kenapa, semua orang selalu merasa berdebar dan seolah dosa-dosanya bermunculan dari berbagai sisi setiap kali berinteraksi dengan Kiai Rasyid.
"Kenapa tidak kamu tabuh besinya?"
Tetapi Ustadz Hanif hanya menunduk takdzim. Semua orang di sana tahu kalau lempengan besi tebal yang kalau dipukul berdenting nyaring itu adalah cara yang dilakukan Kiai Rasyid untuk membangunkan para santri. Makanya, tidak ada satu orang pun yang berani membunyikan. Bahkan ketika santri yang mendapat piket bebersih pun merasa harus minta izin menyentuh benda itu. Padahal bukan itu yang diinginkan Kiai Rasyid, itu hanya besi biasa bukan batu bertuah yang terlarang disentuh siapa saja.
Lalu dengan tenang Kiai Rasyid berjalan ke arah lempengan besi yang digantung tepat di depan kantor pengurus. Letaknya di depan masjid dan tidak begitu jauh dari dua bangunan asrama santri yang masing-masing bertingkat dua lantai. Jadi ketika Kiai Rasyid menabuh lempengan besi itu dengan batang besi, Ting... ting... ting... dengan tujuh kali tabuhan, maka akan terdengar nyaring sampai kamar-kamar.
Setelah itu barulah semua santri yang masih terlelap kalangkabut mempersiapkan diri. Ada yang membawa ember berisi perlengkapan mandi dengan berselendok handuk ke kamar mandi bawah tanah; ada yang sudah berpakaian rapi; ada yang cuma membawa sebatang kayu siwak dengan wajah mengantuknya; bahkan ada yang tidak melakukan bebersih diri kecuali hanya berwudu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Masa Depan [Segera Terbit]
Spiritual[Work ini berisi Buku 1 & 2] "Bagiku, kamu seperti tanda saktah dalam Al Quran. Hanya bisa kulalui setelah menahan napas sebentar saja."