TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil GeBAB 9: New York Ketika Hujan
Diunggah pada: 18 September 2018
Revisi: --/--/----***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
******
***
Bantu saya temukan typo ya. Barangkali ada yang kelupaan.
***
*Bab ini terjadi sebelum Kiai berangkat ke New York. Dalam artian. Ini alurnya dimundurin.
***
{Abimana Ilyas}
Saya melangkah pelan di lobi kantor. Waktu magrib telah masuk lima belas menit yang lalu dan saya sudah menggenapi kewajiban itu. Langit menggelap dan pegawai mulai sepi. Sengaja saya pulang lambat karena ada beberapa hal yang harus saya tuntaskan. Dan baru saja saya mengirim file hasil kerjaan seharian, di kotak masuk email saya sudah ada tiga file lain yang menuntut saya untuk lembur malam ini. Tidak ingin mengeluh. Cukup dengan bersyukur. Meskipun rasanya punggung sudah protes minta dibaringkan di kasur. Hey, ini Jumat, dua hari ke depan ada waktu untuk libur. Jadi bisa untuk istirahat selagi tenggat kerjaan itu sampai besok siang.
Di luar sedang gerimis. New York ketika hujan memilik rasa tersendiri. Bagi saya itu indah ketika titik-titik air menjadi berkilau terpapar lampu-lampu kota. Membuat suasana urban yang sangat sibuk itu terlihat lebih tenang. Gelap berpendar keunguan. Ya, seperti itu.
Uang di dompet saya hanya tersisa untuk transportasi dari sini ke masjid komunitas muslim New York. Ya beginilah, dibawa irit pun nyatanya hidup di kota ini tak pernah berhasil. Saya tersenyum pada selembar dolar yang nyelempet di dompet saya. Bersyukur lagi. Tidak apa-apa, setelah ini Allah akan menggantinya. Selama saya masih hidup, selama itu pula rezeki saya belum terputus.
Saya mempertimbangkan antara naik taksi atau uber. Keduanya memiliki tarif yang beda tipis. Dan Uber menjadi pilihan saya karena masih ada kembalian beberapa dolar yang bisa saya pakai untuk membeli roti. Saya tidak makan siang hari ini.
Sepuluh menit menunggu, uber pesanan saya datang. Bersamaan dengan sebuah pesan dari Habib, "Sedang dalam perjalanan?"
"Iya."
Ada secercah harapan karena harusnya hari ini saya mendapatkan gaji mingguan dari mengajar di komunitas. Sejatinya pendapatan materi bukanlah prioritas ketika saya mengajar, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mungkin ini pun salah satu cara Allah memberi saya rezeki. Seperti segenggam jagung yang ditebar di jalanan kota Madinah.
Ah, kota itu. Saya ingin ke sana suatu saat nanti bersama istri.
Hm, siapakah dia?
Sudah beberapa hari ini semuanya terasa hampa. Dia membuat saya ratusan kali memeriksa layar ponsel dalam sehari. Namun notifikasi darinya tak muncul jua. Ya, tepatnya tiga hari ini. Saya tahu sikapnya mulai melunak. Dan mungkin itu semacam perubahan baik atas keputusannya berislam. Tapi saya bahkan belum pernah bertemu dengannya lagi di tempat kerja. Padahal kalau tidak salah bidang kerjanya sedang sangat sibuk mengurus liputan yang kini trending.
Saya memberanikan diri untuk mengirim pesan. Bagaimanapun saya juga punya hak untuk tahu kabarnya.
"Assalamualaikum, apa kabar?" ketik saya dalam pesan.
Sedikit lega ketika dia membalas tak lama kemudian.
"Waalaikumsalam, semuanya baik-baik saja. Hei, kau sedang dalam perjalanan ke komunitas? Semua orang menunggumu di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Masa Depan [Segera Terbit]
Espiritual[Work ini berisi Buku 1 & 2] "Bagiku, kamu seperti tanda saktah dalam Al Quran. Hanya bisa kulalui setelah menahan napas sebentar saja."