BAB 17: Sang Pencinta

5.2K 736 92
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 17: Sang Pencinta
Diunggah pada: 02/01/2018
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
BAB 17
SANG PENCINTA

*bantu temukan typo.

Dinda Humaira Rasyid

1

Gema takbir sangat menyentuh. Alunan nadanya selalu terdengar suci dan berhasil menggeretak jiwa. Memanglah apapun itu yang membesarkan nama Allah pasti akan melunakkan perasaan yang mendengarkan. Selesai sholat isya, mobil Mas Faris sudah sedia di depan RS. Aku harus pulang karena Syifa memintaku mengirim file makalah sebagai persiapan presentasi minggu ini yang sepertinya tidak bisa aku ikuti. Juga karena aku belum mandi sejak tadi siang. Setelah memastikan keadaan Mas Alwi baik-baik saja, Abi tidak ragu lagi untuk pergi ke Pekalongan karena harus takziah ke salah satu sahabatnya yang dikabarkan meninggal tepat setelah ashar tadi. Sahabat waktu mondok dulu. Jadi memang hanya Umi yang menjaga Mas Alwi. Sementara itu, Umi sudah membekali banyak tanggungjawab yang harus aku urusi bersama ibu-ibu.

Aku juga heran kenapa Mas Faris tidak pergi setelah mengantar Mas Alwi. Padahal dia memiliki kesempatan lebar untuk pulang tadi.

Ratusan kali aku berusaha mengaburkan pikiran tentang jem apel. Tapi tak bisa disangkal sampai sekarang pun jiwaku masih tersentak. Apa yang selama ini tak sempat terpikirkan justru terkuak tanpa diduga. Jadi, dialah orang yang mengirimiku jem apel dan satu parsel penuh buah segar. Hanya itu, memang hanya sebatas itu yang aku tahu. Sebab aku mana berani menanyakan alasannya.

Tapi aku semakin heran dan penasaran. Sebenarnya siapa orang ini? Kenapa keterlibatannya dengan keluargaku seolah sudah sejak lama? Sebab itu pula, aku nekat mengiyakan begitu saja ketika Umi memintaku untuk pulang bersama Mas Faris pakai mobil pinjamannya. Ini sangat terpaksa dilakukan. Jujur ada banyak khawatir dan takut, tapi tekadku lebih besar untuk mencari tahu urusanku sendiri.

Baiklah, orang biasa-biasa saja tidak mungkin mengirimi semua itu padaku. Bagaimana dia mendapat alamat pesantrenku? Dan... oh, akan kutanyakan saja nanti. Kalau aku berani.

"Jangan lupa ingatkan Bi Mirah, Nduk. Daun serehnya sudah bisa diambil di rumah, di dalam karung warna biru yang ikatnya tali rapia kuning, nanti kamu yang tunjukin. Kelapa juga sudah dipetik sama santri kemarin lusa, jumlahnya 40 biji. Pasti sudah selesai dikupas. Umi tadi sudah bilang, tapi takut ndak diingat wong Bi Mirah itu rada pelupa," katanya sambil mengantarku ke depan RS. Sementara Mas itu sudah menungguku di dekat mobil.

"Dinda mengingat dengan baik, Insya Allah," aku mengatakannya selirih mungkin. Sekarang bahkan aku malu memperdengarkan suaraku di dekatnya. Bagaimana nanti ingin menginterogasi?

"Yo wes lah. Coba saja Bi Mirah bisa main hp. Kan Umi bisa langsung nge-bel (menelepon) saja." Dia memegangi lenganku sampai ke dekat mobil.

"Nak Faris jangan ngebut ya nyetir mobilnya. Aduh maafkan, Alwi ndak bisa ditinggal," kata Umi merasa rikuh. Sementara yang diajak bicara sedikit membungkuk santun. "Sekali lagi matur suwun karena sudah mau repot-repot jujug (mengantar) Alwi."

"Tidak apa-apa, Bu Nyai. Saya senang bisa membantu."

Aku berusaha untuk tidak melihat wajahnya atau aku akan, demi Tuhan, tak berkutik lagi melihat senyumnya itu. Malam memberi keuntungan buatku karena tahi lalatnya pasti akan tak terlihat. Jika boleh memberi penilaian, Mas Faris itu lebih menarik daripada Mas Alwi. Saat tersenyum rapatan giginya yang rapi dan kecil-kecil nampak juga. Bahaya bukan? Masku yang selama ini mendapat nilai bagus dari kacamataku dalam sebentar sudah digeser posisinya oleh-.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang