BAB 12: Jem Apel

5.8K 723 69
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 12: Jem Apel
Diunggah pada: 15/11/2017
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 12

JEM APEL

{Faris Kamil}

1

Yang memiliki pikiran pelik tentang jodoh bukan hanya perempuan. Justru laki-laki juga tidak kalah sibuknya memikirkan ini, hanya saja kami lebih pandai menyembunyikannya dari pada berekspresi.

Laki-laki memiliki tanggungjawab lebih besar. Dia seperti nahkoda bagi kapal, masinis bagi kereta, pilot pada pesawat dan yang jelas imam dalam sholat. Apabila baik dalam perannya, baik pula yang diemban. Banyak laki-laki yang menunda buat menikah karena tak sedikit yang merasa takut pada evolusi mental perempuan yang semakin hari kian materialistis. Iya, memang tidak semua begitu, tapi setidaknya mewakili apa yang terjadi pada masa sekarang. Dan evolusi mentalnya juga tak selalu seburuk ini, ada banyak yang bahkan berdampak positif. Tapi salah satunya memang itu.

Menurutku, memanglah tidak salah berpikir soal materi, karena dalam membangun kehidupan yang sejahtera itu tak bisa dilepaskan dari ketersedian materi yang menjamin. Boleh saja memimpikan hidup bahagia dalam cinta, tapi kembali lagi pada realita yang ada.

Di usia yang menginjak 26 tahun ini, aku mulai mendapat pertanyaan soal pernikahan. Lebih sering yang bertanya itu mereka yang bekerja di perkebunanku. Itu hak mereka untuk bertanya, dan hakku juga untuk tidak menjawab. Mungkin aku salah satu dari sekian banyak laki-laki yang takut mengecewakan perempuan. Aku tak ingin meminang perempuan hanya bermodalkan cinta. Siapa pun dia yang akan menjadi istriku kelak, aku ingin membuatnya bersyukur bisa memilikiku. Jika yang dituntut adalah cinta, kesetiaan, atau bahkan kejujuran, aku bisa memberikannya sebanyak yang dia mau. Tapi yang namanya harta, itu ada takarannya sendiri untuk menikmatinya.

Aku tak pernah menargetkan di usia berapa harus bebas dari urusan finansial. Target hanya batas minim, selebihnya hanya ekspektasi. Karena itu aku selalu bekerja secukupnya saja, dan hidup sebagaimana manusia pada umumnya.

Menjadi seorang polisi hutan memang tak sepopuler BRIMOB, Polantas atau pun Densus 88. Karena daerah operasi kami ya di hutan, tempat-tempat terpencil. Karenanya harus memiliki jiwa dan mental kuat apabila sedang mendapat patroli di tengah hutan dengan sekelompok kecil saja. Kami juga bukan bagian dari Polri. Kalau yang belum tahu, Polhut itu berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional, Balai KSDA dan Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota, ini untuk polhut yang berstatus PNS. Sementara saya merupakan yang Non-PNS, mendapat tempat di Perhutani. Tugasnya ya hanya di wilayah hutan kabupaten saja.

Selain tugas pengawasan, yang harus saya hadapi itu bukan melulu soal cukong-cukong kayu yang curang. Tapi lebih dari itu kami memeluk alam dengan sayap-sayap pelindung kami. Seolah menjadikan alam sebagai bagian dari diri kami sendiri. Kami juga melakukan pemburuan, dan mangsa kami adalah pemburu yang seperti kalian pahami. Selebihnya, kalian akan tahu perlahan.

Sejak sore tadi, hujan turun deras. Aku dan Yudi masih berada di tengah belantara jati yang luas. Jauh dari gubuk pantauan yang bisa digunakan untuk berteduh. Alih-alih menghindari basah kuyup, daun sente yang aku pegang malah sobek gara-gara terhempas angin kencang. Sementara Yudi masih aman di bawah batang pisang. Kasus pencurian kayu yang belakangan terjadi membuat kami harus berada pada situasi seperti ini; sebuah risiko yang kadang kala harus sesekali dinikmati.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang