BAB 5: Telepon Dari Masa Lalu

7.1K 803 82
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 5: Telepon Dari Masa Lalu
Diunggah pada: 10/10/2017
Revisi: --/--/---

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 5
TELEPON DARI MASA LALU

{Abimana Ilyas}

1

Bismillahirrohmanirrohim...

Kemarau membuat langit uzur untuk mengguyur. Sementara retensi awan selama kurun itu pecah tak tertahan manakala musimnya tiba. Tak kenal pagi, siang pun malam, dia akan pecah. Hujan kembali turun petang ini, memukul-mukul atap mencipta geretak. Pohon yang terlihat dari balik kaca jendela lantai empat ini nampak seperti petapa. Mereka tenang dalam basuhan hujan. Langit kembali berkhimar. Menggelap rona hijau tangkai mahoni dalam ritus hujannya. Bak petapa tadi, tetes-tetes bening tak ubah seperti hikmah yang jatuh dari langit setelah masa bertapa kemarau lampau. Pohon dan hujan; sepasang kekasih yang setia menunggu pada tiap jengkal masa kemarau. Perpisahan sesaat itu memberi bukti pada bumi yang turut gerah tanpa romansa keduanya. Tanah mati; tangkai rapuh. Musim hujan ialah judul baru, teruntuk bumi yang demam dan pepohon yang merindu rinai.

Tepat di bawah gedung fakultas, hanya terhalang dinding batako setinggi dua meter, ada area pemakaman warga yang terlihat menyedihkan. Iya, gedung fakultas ini bertetangga dengan pemakaman. Terlihat jelas jika melongok dari jendela, ada sekitar belasan makam yang rimbun ditumbuhi ilalang. Tak punya hati nian keluarga yang mendiamkan makam mendiang keluarganya tanpa perawatan. Bahkan saya sering berharap andai keesokan harinya salah satu dari makam-makam itu ada taburan mawar di atasnya. Tapi seperti tak pernah terlihat. Makanya saya sering membisikan doa untuk mereka, entah itu siapa yang berbaring di sana.

Berharap kalau saya mati nanti, ada lebih banyak orang yang peduli. Menabur bunga di atas makam saya, membacakan Yasin, dan mencabuti rumput liar. Tanpa mereka tahu bahwa kematian seorang Abimana Ilyas karena tindakan pengecut yang ingin cepat mati. Tapi kapan saat itu tiba? Kenapa jantung saya seolah terlalu kebal dengan rokok dan soda?

Pak Ahmad baru saja menerangkan titik pembeda antara Ilmu, Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan.

Sambil melamun menatap makam yang kehujanan itu, akhirnya saya berpikir, coba-coba menyangkutkan filsafat ilmu pada keadaan ini. Apakah keluarga dari makam-makam itu tidak memiliki Pengetahuan dari Ilmu tentang ziarah kubur? Atau karena tidak ada orang yang mau mengajarkan Ilmu Pengetahuan-nya tentang ziarah itu sendiri? atau memang lemahnya minat mereka untuk mencari sendiri? Hmm, ahh, apa-apaan saya ini.

"Apa di antara kalian ada yang bisa berbagi permisalan atau ... mungkin penjelasan soal apa itu ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam Filsafat Ilmu? Ya saya nggak mau tahu, kalian ini mahasiswa. Harusnya sudah ada yang pernah membuka bacaan dan mempelajari sebelum masuk kelas saya," kata Pak Ahmad saat memulai sub materi baru.

Saya melirik jam di pergelangan tangan. Sepuluh menit lagi memasuki waktu maghrib. Artinya hanya ada tenggat waktu itu saja seseorang bisa mengacungkan tangan dan mengutarakan argumennya.

Tapi anak semester satu tidak ada yang berani bersuara. Sebenarnya saya bisa menjawabnya, mata kuliah ini saya pelajari secara otodidak saat tertinggal dulu. Jadi ada sedikit yang bisa saya pahami dari ketiga tahapan itu. Namun saya tidak ingin bertindak serta merta unjuk kepantasan soal apa yang saya pahami, bisa-bisa tidak cukup mereka kesal karena julukan komdis saya, malah tambah dengan label sok tahu. Hanya berharap semoga Pak Ahmad menunjuk saya.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang