BAB 18 [A]: Labirin Patah Hati

4.7K 648 61
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 18 [A]: Labirin Patah Hati
Diunggah pada: 18/01/2018
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 18
LABIRIN PATAH HATI

{Abimana Ilyas}

1

Bismillahirrohmanirrohim...

Beberapa bulan kemudian...

Sejak kecil, saya termasuk orang yang sering berkaca pada diri sendiri. Juga tipikal fatalis yang akhirnya cenderung pasrah pada keadaan, merasa bahwa ... ah, itu sudah seharusnya terjadi. Itu karena dulu saya merasa masih memiliki tangan-tangan untuk bergantung hidup; Ayah, Ibu dan Aa. Namun perlahan saya berubah menjadi lebih berani setelah bertahan di Bandung untuk kuliah sendirian. Sampai kembali di benturkan kuat-kuat oleh takdir, kematian Ibu.

Setahun lagi Abim wisuda, Bu, Insya Allah. Ingin sekali rasanya saya berkata begitu padanya.

Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan baik, tapi memanglah cinta anak laki-laki pada ibunya itu sangatlah kuat. Ada ikatan cinta yang sangat indah. Seorang ibu membesarkan anak laki-lakinya itu ibarat dia sedang merawat sebuah perisai, berharap bisa melindunginya kelak ketika anaknya dewasa.

Tapi saya sadar, Ibu sudah tidak ada di sini. Saya sudah tidak bisa memeluk, mencium, dan membuatnya tersenyum lagi. Atau seperti yang saat ini saya butuhkan, yaitu mengadu.
...
...
...
Saya kesakitan Dinda.
...
...
...
Saya tidak bisa meraih oksigen di udara untuk dijejalkan ke paru-paru.
...
...
...
Kamu perempuan kedua yang berhasil menggaduhkan hati saya setelah Ibu. Tapi bukan seperti ini cara Ibu melakukannya.
...
...
...
Sebelum saya berangkat PKL, Dinda yang sudah semester dua juga harusnya mudik karena libur. Alih-alih mengirim pesan untuk berpamitan, yang saya dapat justru pesan yang menyakitkan.

Bisa dikatakan saya merasakan ada banyak perubahan sikap pada Dinda sejak lama. Saya tidak tahu kenapa bisa semudah itu janji, bukan, upaya yang pernah kita ujarkan bisa dia patahkan begitu saja. Kata-katanya menguap dan lebur di udara.

-----

Kepada, Kang Abimana Ilyas.

Assalamualaikum, wr. wb.

Sesungguhnya hati berlutut di atas sajadah entah berapa malam lamanya hanya meminta untuk dikuatkan. Maaf kalau selama ini Dinda tidak membalas pesan-pesan Akang. Maaf jika selama ini Dinda menghindar.

Berawal dari Dinda yang tidak sanggup menyelimuti apa itu yang ada di antara kita, akhirnya Dinda pun mengatakannya pada Ummi. Kalau iya pun seharusnya sudah Dinda sampaikan sejak dulu. Tapi rasanya masih terlalu dini kalau saat dulu, kita yang baru selama itu langsung disampaikan ke keluarga.

Dinda menceritakan semua tentang Akang kepada Ummi sedetail mungkin. Kenyataannya tak ada sesuatu yang bisa menggembirakan kita berdua setelah Dinda bercerita panjang lebar.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang