BAB 4: Saya Ingin Mati

7.9K 870 184
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 4: Saya Ingin Mati
Diunggah pada: 06/10/2017
Revisi: --/--/---

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 4
SAYA INGIN MATI

{Abimana Ilyas}

1

Bismillahirrohmanirrohim...


Tidakkah malam seperti perempuan berkhimar? Kain gelapnya menyelubung dengan ketenangan. Tapi kali ini saat dia sedang hujan itu terlihat lebih cantik lagi. Langit bagi malam adalah wajah yang tersembunyi, dan awan yang menyelubunginya, kini tak ubah seperti cadar bagi langit. Lalu hujan yang deras ini, saya lebih senang menganggapnya sebagai tangisan dari bidadari penghuni firdaus. Hmm, jangan anggap ini bodoh, tapi saya pernah membenak untuk tidak akan menikah sebab gambaran tentang mereka, yang dipingit di atas dipan-dipan dan memiliki kerinduan teramat kepada laki-laki bumi yang sholeh, itu sudah membuat saya banyak berharap. Naluri keawaman saya sebagai manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang sempurna pun seketika menyala. Seberdosa apapun saya, tetap bermimpi untuk menjadi suami makhluk indah itu adalah yang nomor satu. Itu saya pribadi.

Di balkon lantai dua asrama, saya mengulurkan tangan ke titikan air yang berjatuhan dari atap. Membiarkan tetesannya menyejuk di atas kulit. Saya memejamkan mata sambil berdoa. Hujan itu rahmat, saya ingin menyentuh rahmat yang bisa saya sadari itu dengan doa-doa.

Saya tinggal di asrama putra pesantren mahasiswa Al Falah, semester 5, benar, jurusan Manajemen mengambil konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia atau bahasa kerennya Management of Human Research Development (HRD), UIN Bandung. Biar saya perkenalkan penghuni sekamar saya yang sudah tergabung dalam ikatan persaudaran 'Simpul Yang Terikat' (SYT). Simpul, tapi terikat? Apa maksudnya? Perlahan kalian akan tahu.

Asrama yang saya tinggali itu berbeda dengan bangunan asrama lainnya, sebab berbentuk rumah dua tingkat lantai. Lantai pertama digunakan sebagai 'aula' sederhana untuk santri putra ─buat nyimpen motor dan kompor juga─, sedangkan lantai kedua itu kamar yang dihuni oleh saya, Raja, Banda, dan Taqi. Mereka adalah separuh hidup saya yang pada akhirnya menjadi teman hidup selama empat tahun di Bandung. Lalu bagaimana dengan asrama putra lainnya? Mereka tinggal di bangunan yang terpisah dan lebih ramai. Anggap saja saya dan ketiga orang tadi menjadi penjaga aula itu.

Pertama namanya Rajabil Umara, panggil saja Raja. Dia mahasiswa perantauan asal kabupaten Biereun provinsi Nangroe Aceh Darussalam, jurusan Sastra Inggris. Raja memiliki cita-cita menjadi aktor. Nggak heran sih karena di antara kami berempat hanya dia yang memiliki penampilan paling oke, bergaya kekinian, up to date soal apa saja, paling gaul, yang suka memprovokasi kita bertiga pergi ke Jatos buat nonton film baru, sudah puluhan kali ikut casting, menyukai musik yang hi-beat, dia banyak penggemar, banyak pengikut di hampir semua media sosial, selalu wangi, dan memiliki gaya tidur yang kurang elegan. Itu kekurangannya.

Serius, kadang saya dibuat ingin tertawa ketika melihat dia tidur dan salah satu tangannya dia masukkan ke dalam baju. Apa yang dilakukannya? Tanpa perlu disensor, dia sedang memelintir salah satu dari dua puting tahi lalat identik di dadanya ─kalian tahulah itu apa. Beberapa orang memang memiliki kebiasaan unik sebagai pengantar atau ketika tidur. Tapi saya sendiri baru melihat yang seperti dia. Untung dia laki-laki, jadi tidak menjadi fantasi berbahaya buat otak saya dan anak-anak lain yang melihatnya. Dan dia melakukannya tanpa sadar, saya yakin itu, karena matanya terpejam lelap.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang