BAB 10: Cinta Tanpa Bahasa

6.3K 693 125
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 10: Cinta Tanpa Bahasa
Diunggah pada: 04/11/2017
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 10

CINTA TANPA BAHASA

{Dinda Humaira Rasyid}

1

Kini, tepat di depanku, Abimana Ilyas sedang duduk dengan minim ekspresi. Dia mengalihkan pandangannya ke atas meja sementara aku yang malah tak bisa berhenti fokus pada wajahnya yang terlihat rapuh, pucat, lemas, dan kurang meyakinkan. Aku baru tahu (setelah mengenalnya) bahwa melihat sosok laki-laki yang nampak rapuh merupakan sesuatu yang menyedihkan. Entah ini karena dia adalah Abimana Ilyas atau karena-.

Sekarang tidak ada lagi skripsi di depan kami hanya untuk mengalihkan perhatian. Aku hanya ingin seperti ini. Semoga dia tidak tiba-tiba kabur lagi. Dan tolonglah lebih lama. Maafkan aku, aku benar-benar menginginkanmu lebih lama lagi. Aku ingin merasakan tarikan napas yang berbeda ini, di dekatmu, Abimana Ilyas. Aku tidak ingin mengakui ini sebagai dosa, tapi biarlah. Kumohon jangan picing padaku. Aku tak bisa menjawab jika kau menuntut perbuatanku ini.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku yang tanpa ragu dan apakah ini terlalu berani ketika aku menggunakan kamu. Bukan lagi Akang. Aku hanya ingin mendekatkan diri. Rasa-rasaku sudah terlepas di depannya. Aku tidak ingin mengingat batasan. Aku ingin peduli. Aku khawatir melihatnya begitu. Aku ... aku tidak tahu. Tolong jangan ditanya kenapa. Aku belum siap berbohong dengan jawabannya. Tolong jangan.

Dia mendongak dan menatap lurus menghujam kedua bola mataku. Tatapannya seperti menyelami lapis demi lapis rasa cemasku padanya. Tapi rembasan keringat di keningnya membuatku seketika gugup mengambil sapu tangan di saku.

"Pakai ini."

Dia mengangguk lemas. Dikutipnya selipat kain itu lalu mengelap seluruh wajahnya. Rumpun rambut yang mengumpul di tepian dahi juga terlihat hitam basah. Apa dia baru saja lari dari lantai empat fakultas ke perpustakaan? Kuharap bukan karena aku.

"Makasih," katanya dengan suara menahan. Sepertinya dia sudah menanggalkan formalitasnya padaku.

"Baik-baik saja?" tanyaku mengulang. Dia harus tahu, entah sepuluh atau seratus kali aku mengajukan pertanyaan ini, selama aku belum benar-benar yakin dan tahu alasannya, aku akan menanyakan kabarnya lebih baik lagi dari sekadar sepuluh atau seratus kali.

"Saya nggak yakin kamu akan percaya kalau saya jawab baik-baik saja."

"Jelas."

"Saya nggak baik-baik saja."

"Kenapa?" cegatku tanpa memberi jeda.

Dia tertegun dengan ketiba-tibaanku.

"Saya sakit."

"Sakit apa?"

"Batuk."

"Udah minum obat?"

Dia menggeleng, tapi jawabnya, "Udah."

"Udah minum obat?" aku bertanya sekali lagi.

Dia menatapku, kemudian mengangguk, "Sudah, Dinda."

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang