BAB 7: Sedang Allah Pun Berencana

3.6K 553 46
                                    

TASBIH SANG KIAI
Written By: Sahlil Ge

BAB 7: Sedang Allah Pun Berencana
Diunggah pada: 20 Agustus 2018
Revisi: --/--/----

***
Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***


{Dinda Humaira Rasyid}

...
Nyatanya aku bahagia. Aku sangat mencintainya. Aku bersyukur memilikinya sebagai suamiku.

Buat yang belum tahu, tidak semua laki-laki pendiam itu kaku. Aku seperti menemukan banyak kejutan darinya. Selalu ada hal tak terduga yang kutemukan setiap harinya. Ya, meski harus aku akui, diriku belum bisa seluwes itu menjadi seorang istri.

Aku selalu berusaha bangun lebih awal dari Mas Faris. Makanya, aku selalu bertanya sebelum kami terlelap, “Mas mau bangun jam berapa besok?” Biasanya pukul tiga pagi. Dan lima belas menit sebelum pukul itu aku harus sudah terbangun.

Seperti kali ini. Aku bergegas melepas diri dari selimut ketika terdengar kokok jago bersautan. Pelan-pelan sekali supaya gerakanku tidak membangunkan Mas Faris. Aku harus menyiapkan air hangat untuknya. Dia perlu itu kali ini. Setelah satu bak besar air hangat sudah tersedia,  aku bergegas membangunkannya.

“Mas, bangun,” kataku mengusap pipinya. “Mas.”

Perlahan tubuhnya menggeliat, dan ekspresi wajahnya cemberut khas baru bangun. “Jam berapa?”

Aku menatap wajahnya. Buru-buru mengusap keringat di wajahnya dengan mukena yang sedang kukenakan. “Pukul tiga lewat seperempat. Abi belum bangun, kok.”

Mas Faris selalu waspada jika harus mandi saat pukul segini. Katanya malu kalau Abi melihatnya berhanduk keluar dari kamar mandi. Biasanya aku mengawasi rumah apakah Abi dan Umi sudah terbangun atau belum.

“Aman?” tanyanya.

“Aman. Kenapa sih harus malu begitu?”

“Kamu itu putri Kiai, dan aku ini suamimu. Mencintaimu saja aku sudah sangat malu, apalagi ketahuan banyak orang kalau aku sangat mencintaimu, Adinda.”

“Iya, tapi kan kita sudah halal,” aku tersenyum padanya.

“Justru itu, aku makin malu karena ketahuan sudah bebas melakukan apa saja denganmu.”

Perutku menggeliat, “Lekas mandi. Airnya keburu adem.”

Dia lalu melepaskan diri dari selimut, dan seperti biasa aku bertugas merapikan tempat tidur kami.

Di rumahku hanya ada satu kamar mandi besar. Tentu saja, itu membuat kami sedikit mengantre kadang-kadang. Tapi bukan antrean seperti pada umumnya. Kami saling mengintai. Dan tak ada yang berani mendahului Abi jika beliau sedang memerlukannya.

Pernikahan kami baru satu bulan. Setidaknya masa itu cukup bagi kami menghilangkan kecanggungan. Mau tidak mau, aku harus menerimanya. Modal mencintainya sudah kumiliki dengan genap. Dan cara Mas Faris melunasi miliknya pun sangat kuterima. Tugasku hanya fokus padanya. Memberikan seluruh diriku untuk suamiku. Dan membiarkan dia memotori jalan hidupku. Aku mempercayainya.

Saat dia keluar dari kamar mandi, baju koko, sarung, serban, dan kopyahnya sudah kusiapkan.

“Kan sudah dibilangin, baju kotornya biar Dinda saja yang nyuci,” kataku saat dia membawa sarung dan baju basah yang sudah dia cuci sekalian mandi tadi.

“Cuma dua ini saja.”

“Iya, tapi kan Mas sudah sering seperti ini. Hampir tiap hari malah.”

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang