BAB 1: Tasbih di Malam Natal

17.7K 1K 90
                                    

IMAM MASA DEPAN
Written By: Sahlil Ge

BAB 1: Tasbih di Malam Natal
Diunggah pada: 28/09/2017
Revisi: --/--/----

***

Hak cipta diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***

BAB 1
TASBIH DI MALAM NATAL

{Abimana Ilyas}

1

Bismillahirrohmanirrohim...

Antara Semuanya ....

Saat itu malam natal, saya baru saja selesai mewawancarai seorang jemaat katolik yang akan mengikuti peribadatan di The Cathedral of Saint Stephen, di Vienna, Austria.

Sebagai jurnalis freelance atau saya lebih merasa keren kalau menyebut diri sebagai koresponden sekalipun nggak ada yang mengutus, saya wajib bin fardu untuk meliput berita yang penting dan sekiranya bisa menjadi headline. Karena memang kalau sudah waktunya, semua kantor berita selalu berlomba-lomba untuk menampilkan headline paling menarik tentang natal. Apalagi berita yang saya dapat, jujur tidak pernah tidak laku, pasti ada yang mau membayarnya. Entah itu untuk koran, radio, bahkan televisi. Dan liputan yang saya kulik malam itu, mungkin menjadi yang terakhir saya lakukan secara freelance. Sebab, setelah lewat pergantian tahun nanti, saya harus segera kembali ke Jakarta dan memulai hari pertama bekerja secara tetap di sebuah stasiun televisi. Tentu bersama Maja, dia Fixer saya.

Kalau kalian ingin tahu, tugas Fixer itu sangat penting bagi seorang koresponden, sebut saja begitu. Karena dia yang tugasnya mengatur jadwal pertemuan dengan narasumber, tempat, penginapan, urusan makan, dan hal lain-lain yang sekiranya mendukung kelancaran. Tapi jangan sebut Fixer itu seperti kacung, bukan, bagi saya Fixer itu seperti teman. Apalagi yang bertalenta public relation andal seperti Maja, sekaligus yang cukup paham urusan perekaman dan kamera, Maja lebih dari sekadar Fixer.

Maja adalah kawan saya sejak mulai menggiati profesi mengasyikan ini, tepatnya saat tahun pertama kuliah S2 di bidang ilmu komunikasi. Padahal saya S1 di jurusan Manajemen, UIN Bandung. Berbeda dengan Maja yang memang basisnya anak ilmu komunikasi. Tapi, untuk jadi seorang jurnalis tidak mewajibkan harus lulusan bidang ilmu tersebut. Yaa, yang penting bisa mendapatkan berita yang kredibel, berimbang, dan high value untuk bertengger di headline.

Kalau dulu saya tahu akan menyenangi dunia jurnalistik, pasti saya tidak akan memilih Manajemen sebagai bidang keilmuan saya waktu S1. Jadi, apakah saya menyesal? Tidak juga. Tapi itu sudah terlanjur, yang penting saya masih bisa melanjutkan pendidikan di ilmu komunikasi. Lagi pula, saya masih bisa mendapatkan ilmu-ilmu dasar dari Maja.

Kita berdua satu tim, ke mana-mana mencari berita selalu kita lakukan bersama. Bermodal kamera khusus untuk meliput, dua laptop, dan alat pendukung lainnya. Jangan tanyakan modalnya dari mana, tapi kalau kalian ingin tahu, semua akomodasi kami pada awalnya didapat dari orang tuanya Maja yang memang berduit. Dan saya yang beruntung di sini, karena akrab dengan Maja, makanya jadi ikut digaet untuk sekalian terjun di dunia jurnalistik ini.

Lalu kenapa Maja yang jadi Fixer, padahal modal datang dari pihak dia? Jadi, di sini kami berusaha mengimbangi. Maja lebih unggul untuk urusan teknisi dan menyenangkan, tapi dia tidak pede untuk berdiri di depan kamera dan melaporkan berita atau bercakap-cakap untuk melakukan wawancara. Sekalipun urusan membuat janji dengan narasumber dia memang sudah tidak perlu diragukan lagi, apalagi jika harus berurusan dengan kantor berita. Sementara saya, justru tidak terlalu memahami secara mendalam soal teknisi, tapi bisa dibilang cakap untuk urusan berbicara di depan kamera dan menulis berita. Makanya, di sini kita posisinya saling menguntungkan.

Imam Masa Depan [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang