#2 Gold

2.7K 157 2
                                    

Tak memedulikan Oscar yang masih meregang nyawa, Brie segera mengunci pintu kamar lantas mengeluarkan seragam pengganti yang ia sembunyikan di lemari, tepatnya di bawah kemeja-kemeja Oscar. Setelah itu, ia menanggalkan busana, bercermin, dan menghapus bercak-bercak darah yang tertinggal di kulitnya dengan tisu.

Seperti biasanya, ia melakukan semua itu dengan tenang dan tanpa banyak buang waktu.

Tiba-tiba, ia mematung. Pemandangan di matanya berubah total. Ia melihat adegan aneh, mirip dengan sebuah refleksi kenangan, tapi ia sendiri merasa tak pernah mengalaminya. Seakan-akan di hadapannya ada seorang wanita paruh baya yang tersenyum bangga kepadanya. Brie langsung mengenali wanita itu sebagai ibu Oscar.

"Aku akan membahagiakanmu, Mama."

Itu bukan suara Brie. Itu suara Oscar yang menggema di telinga Brie. Suara itu seolah mengalirkan sesuatu yang hangat di dada Brie.

"Kalau saja papamu itu tidak memberi kehidupan seperti ini."

Sekarang yang berbicara adalah ibu Oscar. Nada suaranya begitu sendu.

Pemandangan berganti, sekarang yang bisa Brie lihat hanya kegelapan. Kehangatan di dadanya telah lenyap, digantikan oleh sesuatu yang dingin dan pekat.

Mama, tolong aku, Ma! Aku tidak mau mati seperti ini!

Ketakutan, penyelasan, dan rasa tak berguna, tanpa alasan yang jelas Brie bisa tahu kalau Oscar baru saja merasakannya.

Namun, rasa-rasa itu segera menghilang, tergantikan oleh satu perasaan lain: pasrah.

Ah, maafkan aku yang belum sempat membahagiakanmu, Mama.

Pemandangan di mata Brie kembali berganti. Kali ini ia melihat bayangannya sendiri di cermin, hanya memakai bra dan celana dalam. Bayangan itu balik menatapnya dengan air mata yang mengalir di pipi.

Kendati matanya memang terasa panas dan berkabut, Brie masih belum bisa percaya. Ia menempelkan ujung jarinya ke pipi. Terasa basah dan hangat. Itu benar-benar aliran air matanya.

Dengan tubuh gemetar, Brie menoleh ke arah Oscar yang jelas-jelas sudah tak bergerak.

Apakah dirinya benar-benar baru saja merasakan isi hati Oscar? Tentu saja Brie tak bisa memercayainya. Namun, perasaan yang hinggap di dadanya tadi terasa begitu nyata, seolah hatinya tersambung dengan hati Oscar.

"Oscar!!! Oscar!!! Apa kau masih ada di dalam!? Ada telepon dari papamu!!!"

Mendengar raungan Jorge yang diikuti gedoran-gedoran dari pintu kamar, Brie berjengit hebat. Jelas sekali kalau paman Oscar itu sudah mengetuk sedari tadi, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Ini berarti Brie sudah sangat banyak membuang waktu.

Brakkk!!!

Brie baru saja akan memikirkan rencana saat pintu itu menjeblak terbuka. Jorge dan seorang anak buah pun masuk. Sang paman langsung membeku saat melihat mayat keponakannya, sementara si anak buah segera meraih pistolnya yang ada di saku belakang.

Brie langsung berlari maju, menangkap tangan si anak buah yang sudah menodongkan pistol ke arahnya. Sembari menarik tangan itu kuat-kuat, Brie menghantam hidung si anak buah dengan siku tangannya.

Si anak buah hilang keseimbangan dan jatuh. Brie segera merebut pistol lalu mengalungkan lengannya ke leher Jorge.

Dor!

Tanpa pikir panjang, Brie menarik pelatuk pistol itu. Kepala si anak buah pun langsung berlubang karena peluru.

Brie segera menempelkan ujung pistol itu ke pelipis Jorge. "Sekarang..."

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang