Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Brie berhasil memaksa Revan untuk menyerahkan kunci mobil. Dengan menyetir dan ada Mail untuk diajak mengobrol, Brie jadi tidak dihinggapi kebosanan. Ia juga bisa sejenak mengenyahkan hal-hal yang terus saja menghantui pikirannya beberapa hari terakhir.
"Oh iya, Mas Revan ini masih kuliah apa udah kerja?" tanya Mail kepada Revan yang sedari tadi tak ikut masuk dalam obrolan.
"Kerja," jawab Revan pendek. Matanya terus terarah ke jendela mobil di sampingnya.
"Kerja apa?"
"Cuma pegawai biasa, kok."
Mail yang duduk di belakang menautkan alis seraya mengamati interior mobil. Pegawai biasa tentu tak akan bisa membeli mobil sport mewah yang mereka tumpangi ini.
Menyadari ekspresi Mail lewat kaca spion, Brie pun berseloroh, "Revan Gumilang Saputra, umur 25 tahun, anak dari salah satu pengusaha besar di Indonesia, sekarang bekerja di perusahaan ayahnya itu, menjabat sebagai..."
"Cukup!" sela Revan ketus. Matanya memelototi Brie. "Sejak kapan kamu nyari tentang kehidupanku? Kurang kerjaan aja."
Brie tersenyum sinis. Rasa sebalnya kepada Revan sejak dari taman kota sudah memuncak dan ia tak mau menahannya lagi. "Mail, kamu tahu berapa lama hukuman untuk penganiayaan ringan di sini?
"Uhmm... Sekitar tiga bulan mungkin?" jawab Mail dengan nada tak yakin. "Kurang tahu juga, sih. Kenapa emang?"
"Lumayan lama juga, ya. Terpaksa aku membatalkan niatku. It's not worth it."
"Niat? Niat apaan?" Mail kembali mengerutkan kening, tak bisa menebak arah pembicaraan Brie.
"Niat memukul wajah seseorang." Brie mencondongkan tubuhnya ke arah Revan dengan sedikit mencibir.
Mail cuma mengangkat kedua alis, sementara Brie malah tersenyum sambil manggut-manggut. Namun, yang sedang dibicarakan malah tetap posisinya, sama sekali tak terpengaruh. Brie sampai ingin benar-benar menjotos muka pemuda itu kuat-kuat.
"Sepertinya kita sudah sampai," ujar Brie sambil membelokkan mobil ke sebuah perumahan dengan jalanan yang sempit. Setelah mencari-cari sebentar, ia memarkirkan mobil di depan sebuah hunian mungil nan sederhana, letaknya di ujung perumahan, berhadapan dengan sawah yang belum ditumbuhi padi karena baru dipanen.
Tak mengatakan apa-apa sewaktu turun, Revan menghampiri rumah yang tak berpagar itu, kemudian mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Beberapa detik berselang, pintu rumah itu terbuka.
Seorang ibu bertubuh sedikit subur dan berkulit putih langsung menyambut mereka dengan senyuman. "Ada perlu apa ya, Mas?"
"Tiaranya ada, Bu?" tanya Revan sopan.
"Oh ada, silahkan masuk dulu."
Begitu Brie, Revan, dan Mail duduk berdesakan di kursi panjang ruang tamu, ibu yang memperkenalkan diri sebagai Wilis itu menghilang di balik tirai yang membatasi ruang keluarga. Dari arah dalam, Brie bisa mendengar tawa anak kecil.
"Aku boleh minta sesuatu ke kamu, Rev?" tanya Brie, setengah berbisik.
"Apaan?" tanya Revan dengan nada ogah-ogahan.
Brie melirik pemuda itu. "Serahkan semuanya kepadaku. Biarkan aku yang bicara."
Revan cuma membuang muka, sementara Brie tersenyum tipis, berharap pemuda itu benar-benar mengikuti sarannya.
Tak berapa lama, Wilis kembali bersama seorang gadis dengan rambut keriting yang mengembang. Berbeda dengan Wilis yang putih, kulit gadis itu lumayan gelap. Namun, bukan berarti gadis itu jelek. Dengan bibir tebal, ujung mata yang tajam dan sedikit naik, serta postur semampai, penampilan gadis bernama Tiara itu justru sangat eksotis di mata Brie.

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasyNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...