"Jadi, kenapa kita masih ada di sini dan tidak mendatangi alamat selanjutnya, Rev?" tanya Brie, meminum kuah mie instan gelasannya sampai habis. Pandangannya fokus ke depan, melewati cahaya-cahaya lampu jalan yang digunakan untuk menerangi malam, terpancang ke panti yang berjarak cukup jauh dari mobil Revan.
Revan yang duduk di kursi kemudi menyeruput mie bagiannya sambil memandang kesal Brie. "Kamu udah nanyain itu dari tadi sore. Aku udah capek dengernya."
"Asal kamu tahu saja, pertanyaan itu ada untuk dijawab. Kalau tidak dijawab, pertanyaan itu akan terus ada." Brie melemparkan wadah mienya lewat jendela mobil. Wadah itu pun mendarat di tempat sampah terdekat. "Seperti pertanyaan yang menghantuiku sejak dulu: kenapa laki-laki punya puting, padahal tidak bisa menyusui? Pertanyaan itu terus menggangguku sampai aku tahu jawabannya dari internet."
Pelipis Revan berkedut tanda dirinya menahan kemurkaan.
"Jadi, sekali lagi," ucap Brie yang masih belum menyerah. "Kenapa kita masih ada di sini?"
"Kamu lihat Ismail kan tadi? Dia kayak nyembunyiin sesuatu! Besok, aku pengen ketemu dia lagi! Barangkali dia nyembunyiin informasi penting! Puas!?" balas Revan, setengah membentak.
Brie tertawa pelan, belum yakin akan jawaban itu. Revan terlalu mengulur-ulur waktu sebelum menanggapi. Itu berarti Revan kebingungan untuk merangkai jawaban. "Oke, aku juga berpikiran seperti kamu. Ismail itu menyimpan sesuatu. Lalu, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu juga menyembunyikan sesuatu? Kenapa waktu kutanya tentang daftar alamat itu, kamu selalu menghindar? "
Revan yang tengah mengunyah mienya langsung tersedak. Ia segera minum dari botol air mineral. Namun, setelah itu ia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab.
Berusaha tetap sabar, Brie menghela napas panjang. "Aku ulangi pertanyaannya, barangkali kamu belum dengar..."
"Kalau udah dapat daftar alamat itu, kamu mau ngapain? Apa kamu mau ngedatengin anak-anak itu sendirian?" potong Revan cepat.
"Kita kan sudah buat perjanjian. Aku ini profesional, Rev. Aku tidak mungkin meninggalkan kamu sebelum urusan kita selesai."
Kalau keadaan memungkinkan, sih.
Dengan gerakan berlebihan, Revan segera menghabiskan mienya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku dengan jelas," desak Brie lagi, tersenyum lebar. "Kenapa kamu selalu menghindar waktu aku menanyakan tentang alamat itu?"
Menggeram, Revan meremas gelas mie yang sudah kosong dan membuangnya sembarangan ke luar. "Soalnya daftar alamat itu palsu! Puas!?"
"What!?" Brie langsung terlongong-longong.
Revan memijati keningnya sebentar, kemudian mulai mengotak-atik ponselnya, masuk ke akun penyedia layanan penyimpanan file online lalu membuka daftar alamat itu tanpa perlu mengunduhnya.
Merasa tak punya waktu mengagumi kecemerlangan Revan dalam menyembunyikan file, Brie merebut ponsel itu dan memeriksanya. Ia baru sadar, bahkan alamat Ismail yang tertera berbeda dengan lokasi dirinya berada sekarang.
"Sebenarnya Sekar baru ngirim satu alamat, punya Ismail ini. Dia nyuruh aku ngajak kamu buat dateng ke alamat-alamat yang bakal dia kasih. Nanti setelah kamu ketemu sama cewek itu, dia bakal ngirim alamat yang lain. Kalau aku nggak nurut, keluargaku bakal diapa-apain."
"Damn." Brie menyodorkan ponsel itu ke dada Revan. Semua ini benar-benar di luar dugaannya.
"Maaf Brie, daftar alamat itu inisiatifku biar kamu tertarik. Kalau bilang aku disuruh sama Sekar, aku takut kamu nggak mau ikut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasiNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...