#31 Crushed

621 50 5
                                        

"Ah, kalau berakhir seperti ini rasanya kurang memuaskan," gumam Sekar, memberengut dan menghentikan langkahnya. "Lebih baik kalian menyembuhkan diri dulu, baru melawanku lagi."

Brie masih saja mematung.

Setelah tertawa-tawa lagi, Sekar meninggalkan mereka begitu saja, seolah tak terjadi apa-apa di tempat itu. "Datanglah ke Surabaya, aku akan menunggumu di sana!"

"Brie..." Mail yang semakin dekat dengan Brie memuntahkan darah dari mulutnya.

Tersadar akan panggilan itu, Brie yang belum bisa berjalan merayap ke arah Mail. "Mail, pusatkan kekuatan kamu ke bagian-bagian yang sakit. Ugh..." Brie meringis karena dua lututnya yang bertambah nyeri.

Mail mengubah posisi tubuhnya menjadi telentang, sementara Brie menyelonjorkan kakinya sambil mengatur napas. Brie berusaha tak memikirkan apa pun dan fokus kepada penyembuhannya. Namun, pandangannya tanpa sengaja tertuju kepada mayat Tiara dan Wilis. Ibu dan anak itu tergeletak berdekatan, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Lagi-lagi nyawa yang terbuang sia-sia. Brie sudah terlalu muak.

"Kamu benar-benar membunuhnya..."

Brie dan Mail menoleh ke arah gumaman itu berasal, yakni dari dekat mayat Gisel. Di sana, Revan berlutut dengan membelakangi mereka.

"Apa nyawa manusia nggak berharga buat kamu, hah!?" bentak Revan, kembali terisak.

Brie cuma terdiam, tak berniat untuk menyanggah.

"Tapi dia bukan Gisel yang asli, Mas Revan," balas Mail yang luka-lukanya mulai menutup. "Mas sendiri lihat kan apa yang dia perbuat..."

"Terus, apakah dengan itu dia pantas dibunuh! Apa nggak terpikirkan oleh kalian kemungkinan.... Satu saja kemungkinan kalau ada cara untuk mengembalikan Gisel seperti semula!?"

Kata-kata itu seolah menohok dada Brie dalam-dalam.

Mail menelan ludah. "Tapi tetap saja..."

"Sudahlah, Mail. Aku memang membunuhnya," potong Brie pelan, kemudian menghela napas panjang. "Aku yang membunuhnya... Waktu di pernikahan itu, aku yang membunuhnya..."

"Apa?" Mail terlongong-longong tak percaya.

Tak ada yang perlu disembunyikan lagi, Revan berhak tahu. Dulu, Brie berpikir kalau menyampaikan informasi seperti ini akan lebih banyak memunculkan kerugian. Akan tetapi, kali ini hatinya berkata lain.

"Aku akan menyerahkan diri setelah semua ini selesai, setelah aku mengalahkan Sekar," lanjut Brie.

Revan berdiri sambil membopong tubuh istrinya. Ia berjalan pelan tanpa melihat Brie sama sekali. "Jangan temui aku lagi."

"Ini kuncinya..." Brie buru-buru mengeluarkan kunci mobil, tapi Revan tetap tak peduli dan terus menjauh.

***

Walau dirinya dan Mail belum sepenuhnya pulih, Brie memutuskan untuk segera pergi. Sebentar lagi, karena sudah tak ada ribut-ribut, orang-orang akan mendatangi bekas huru-hara di rumah itu. Ia tak mau dipergoki sedang berada di sana.

"Apa benar kamu yang membunuh Gisel?" tanya Mail yang memapah Brie. Suaranya dipenuhi nada ragu.

Brie yang kedua kakinya masih belum bisa berfungsi dengan baik tertawa getir. "Benar sekali, aku ini pembunuh. Kamu sangat berhak untuk membenciku."

Mail menggeleng pelan. "Aku yakin kamu punya alasan..."

"Oh, shit." Perhatian Brie tertuju ke mobil Revan yang alarmnya berbunyi nyaring.

Mereka menghentikan langkah untuk mengamati tubuh-tubuh yang tergeletak di sekitar mobil itu. Semuanya tak bergerak dan memiliki luka-luka tebasan.

"Ini pasti ulah Sekar." Brie memaksa diri berjalan lebih cepat saat menyadari kaca pintu belakang mobil telah pecah. Begitu sudah dekat, ia melongok ke bekas pecahan itu. Kursi belakang mobil telah kosong, Pratista tak ada di sana. "Mungkin waktu Sekar memecahkan kaca ini, alarm mobilnya berbunyi, orang-orang berdatangan dan Sekar membantai mereka."

"Terus, apa yang harus kita lakukan?" tanya Mail, memalingkan mukanya dari mayat-mayat itu.

Brie melepaskan rangkulan Mail lalu membuka pintu mobil. "Kita harus bergerak cepat. Beruntung tadi tidak ada warga sekitar yang berkumpul di rumah itu. Barangkali mereka kabur setelah melihat pertarungan kita. Tapi dengar, polisi sudah dekat."

Brie menunjuk ke atas. Bunyi sirene mobil memang mulai terdengar jelas.

"Tapi..." Mail menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram. "Rasanya kok kurang pantas meninggalkan orang-orang yang meninggal ini begitu saja."

"Aku tahu..." Brie mendesah. Bahkan dirinya yang tadi mengusulkan untuk meninggalkan mayat Wilis dan Tiara pun merasa tak rela. "Tapi, tugas kita belum selesai. Saat ini kita tidak boleh berurusan dengan polisi."

Brie masuk dan menghidupkan mobil. Mail mengacak-ngacak rambutnya gusar, sebelum akhirnya ikut masuk.

"Apa yang kamu maksud menghentikan Sekar itu sama saja dengan membunuhnya?" tanya Mail lirih.

Brie menghindari tatapan mata Mail, menelan ludah, baru kemudian menjawab, "Kita pikirkan nanti."

Meski berkata seperti itu, Brie sudah menemukan jawaban yang pasti.


Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang