Syracuse, New York, Amerika Serikat.
Wanita dengan rambut kemerahan yang dipotong sangat pendek itu berjalan di sebuah lorong apartemen sederhana. Walau umurnya sudah lebih dari lima puluh, kerut-kerut di wajahnya tak begitu kentara. Bahkan kondisi tubuhnya masih sangat bagus. Terbukti dari blazer dan celana panjang hitam yang tampak sangat modis di badannya.
Ia berhenti di depan salah satu pintu kamar dan menggedornya keras-keras. "Buka pintunya, Kid!"
Terdengar suara langkah cepat lalu pintu itu pun terbuka sebagian. Brie melongok keluar dan langsung memasang wajah masam begitu melihat wanita itu.
"Ada apa, Steph?" tanya Brie yang matanya masih berat karena kantuk. "Bisa tidak sih, kamu meneleponku dulu sebelum datang?"
"Apa itu sapaan yang pantas untuk orang yang membesarkanmu?" Wanita yang dipanggil Steph itu mendorong pintu, memaksa Brie mundur dan memberi jalan. Bau alkohol yang kuat langsung datang ke rongga hidungnya. "Apa kau baru membuat pesta di sini?"
"Pesta sendirian," gerutu Brie, menggaruk-garuk rambut panjang coklatnya yang berantakan lantas menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Ada apa sebenarnya? Kalau masalah dengan Don Felipe, aku kan sudah meminta maaf."
Steph tak segera menjawab, ia mengamati botol-botol bir kosong dan sampah bungkus makanan ringan rasa ikan yang jumlahnya sangat banyak di meja tamu, kemudian membuka kulkas di dekat konter ruangan dan mengambil sebotol bir.
Sebal tak ditanggapi, Brie melempar tubuhnya ke sofa hitam ruangan, duduk sambil bersedekap
"Apakah itu luka yang kau dapat di rumah persembunyian anak Don Felipe?" tanya Steph setelah meneguk sedikit birnya, kemudian duduk di hadapan Brie.
Brie melihat sekilas bebatan perban di betis dan lengan kanannya. "Yah, begitulah."
"Kalau lebam-lebam itu?" Steph mengamati bekas-bekas hantaman peluru berwarna kebiruan yang masih agak kentara di sekujur tubuh Brie.
"Kalau kuceritakan, kau tak akan percaya," jawab Brie malas.
"Begitu, ya?" Sehabis meneguk birnya kembali, Steph menatap tajam mata Brie. "Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apa benar kau yang membantai mereka?"
Pandangan Brie balas terpancang ke mata hitam sang mentor. Jelas sekali dirinya sedang diinterogasi. Sebagai orang yang menjadi penghubung antara Brie dengan klien, Steph tentu tak mau bisnis ini kacau.
Beberapa detik diam, akhirnya Brie menghela napas. "Menurutmu?"
"Bukan," jawab Steph tegas, menaruh botol birnya ke meja. "Kau tak mungkin melakukan pembantaian gila seperti itu, tapi saat ini pun aku belum bisa menemukan informasi tentang pihak ketiga yang mungkin terlibat. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Kid?
Meski sebal di usianya yang telah dewasa ini dirinya masih dipanggil Kid, Brie sudah terlalu malas membantah. Percuma. Steph pasti akan tetap memanggilnya seperti itu. "Apa kau akan percaya kalau kukatakan diriku ini tiba-tiba mendapat kekuatan super, kemudian tanpa sadar aku membantai mereka?"
Steph mencondongkan tubuhnya ke arah Brie, menggeram sampai urat-urat lehernya menonjol. "Are you bulshitting, me? Aku sudah berjanji kepada Don Felipe untuk mencari pihak ketiga itu. Apa kau tahu dia begitu marah saat seisi rumah itu dibantai? Ini benar-benar mengundang perhatian lebih dari pihak polisi."
"Memang begitu kenyataannya," balas Brie, tak mengindahkan kilatan amarah di mata Steph. "Sekarang saja aku masih merasakan dampak kekuatan aneh itu. Aku ingin mabuk, tapi mau sebanyak apa pun aku menenggak alkohol, tubuhku tak merasakan apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasyNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...