#12 New Friend

943 71 8
                                    

Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Walau candaan dari teman duduknya di pelataran minimarket itu menurutnya tak lucu, sesekali Brie tetap tertawa. Daripada terus dilanda bosan, ia memilih untuk meladeni obrolan pemuda bertubuh tambun yang tadi menyapanya ini.

"Jadi, boleh minta nomornya nggak nih, Mba... Eh, Brie?" tanya pemuda itu, sedikit mengangkat kedua alisnya. Ia sudah menanyakan hal itu berkali-kali, tapi Brie selalu berhasil mengalihkan pembicaraan.

Brie yang baru menghabiskan minuman ringannya tersenyum lebar lantas menoleh ke arah mobil. Revan sudah keluar, memandang berkeliling dengan mata menyipit, jelas belum sadar sepenuhnya dari tidur.

"Ah, pacar saya baru bangun, tuh," ujar Brie, bangkit sambil mengangkat kantong plastik hasil belanjaannya.

Si pemuda cuma bisa melongo sambil memandangi Brie yang berjalan menghampiri Revan.

"Ini." Brie menyodorkan sebotol minuman isotonik kepada Revan.

Revan menerima minuman itu dan mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul empat lebih sedikit. "Kenapa aku nggak dibangunin, sih?"

"Kita baru sampai, kok. Aku menyetir dengan santai. Karena tanda di GPS-mu itu tidak detail menyebut alamat, aku mampir ke minimarket ini, menunggu kamu bangun," jawab Brie, setengah berbohong.

Sebenarnya Brie sudah sampai sejak satu jam yang lalu. Ia cuma merasa Revan perlu waktu yang cukup untuk istirahat. Lelah dan kantuk berat bisa mengurangi kemampuanmu mengambil keputusan yang tepat. Karena belum bisa mendapatkan daftar alamat itu, Brie tak punya pilihan lain selain bergantung kepada Revan. Saat ini pemuda itu adalah rekannya.

"Kita langsung berangkat aja," timpal Revan lantas meneguk banyak-banyak minuman pemberian Brie.

"Paling tidak cuci muka dulu." Melihat wajah kusut dan rambut berantakan Revan, Brie tersenyum geli.

***

Setelah beberapa meter mengaspal, mereka sampai di tempat tujuan: sebuah rumah satu lantai yang begitu luas. Brie turun dan langsung mengamati keadaan. Meski cat biru muda rumah itu banyak yang mengelupas, ia tak mendapat kesan kumuh. Justru halaman bangunan itu masih sangat asri dan terawat.

"Ini tempatnya," ujar Revan setelah mengunci mobilnya, berjalan melewati pintu pagar besi rumah itu.

Tak menanggapi ucapan Revan, Brie membaca plang nama yang bertuliskan 'Panti Asuhan Dien' di dinding rumah itu. Seumur hidupnya, Brie belum pernah mendatangi tempat seperti ini.

Anak-anak kecil yang sedang bermain galah asin di halaman panti menghentikan kegiatannya. Mata mereka terpusat kepada Brie, yang langsung menyunggingkan senyum lebar. Beberapa pipi anak laki-laki tampak mulai merona merah.

"Siapa orang pertama kita?" tanya Brie, mulai membuntuti Revan, melewati bayangan pohon rimbun di halaman panti. Telinganya mendengar bisik-bisik dari para anak yang bermain, tapi yang tertangkap olehnya hanya kata-kata 'semok', 'bahenol', dan 'semlohai.' Brie tak tahu arti kata-kata itu. Ia cuma menduganya sebagai varian dari 'cantik.'

"Namanya Ismail. Orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Karena bukan anak kandung, tak ada kerabat yang mau menampungnya. Makanya, dia dititipkan ke panti asuhan ini," terang Revan, sedikit menerawang ke atas untuk mengingat-ingat. "Terus, orangtua Gisel itu dulunya berteman sama orangtua si Ismail ini. Cuma itu yang aku tahu."

Ternyata Revan sempat melakukan sedikit riset. Cukup bagus menurut Brie, walaupun data yang didapatkan sangatlah kurang.

Lewat pintu rumah yang terbuka, mereka disambut oleh wanita berkacamata yang rambut panjangnya penuh uban.

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang