Brie mendekati para lelaki yang saling mengoperkan ember berisi air untuk memadamkan api. Mencari-cari sebentar, ia hanya menemukan Mail yang ikut membantu di barisan terdepan. Baru saja akan menghampiri pemuda itu, Brie merasakan uap panas yang menghajar wajahnya. Si jago merah sudah terlalu besar.
"Mbak Brie!!!"
Teriakan itu membuat Brie menoleh ke sebuah rumah yang agak jauh dari panti. Di sana, Din terlihat sedang melambai-lambaikan tangan kepadanya. Brie pun mengubah haluannya menuju pekarangan rumah itu. Begitu sampai, ia disambut tangisan anak-anak panti yang tengah duduk di tanah.
Di dalam hati Brie timbul sesuatu yang tak pernah dialaminya, sebuah keinginan untuk memeluk anak-anak itu, juga dorongan untuk ikut menangis. Seolah dirinya sendiri yang kehilangan tempat berteduh.
Menahan air matanya, Brie menghampiri Din yang tengah berdiri dengan mata berkaca-kaca. Belum sempat Brie berbicara, wanita tua itu memeluk tubuhnya erat-erat.
"Kenapa sih, pada tega-tega banget, to? Mereka sebenarnya siapa, kok yang dibakar itu harus panti asuhan?" tanya Din, mulai mencucurkan air matanya.
Tak tahu mengapa dirinya dipeluk, Brie hanya bisa tercenung. Beberapa detik diam, akhirnya gadis balas memeluk tubuh sang ibu panti. "Saya juga tidak tahu, Bu."
Kehangatan dari pelukan itu jelas berbeda dari apa yang pernah dirasakan Brie. Kali ini, kehangatan itu seperti bisa sampai ke hatinya, bukan seperti kehangatan yang didapatkannya dari pria-pria yang ia tiduri untuk memuluskan misi.
Tak sanggup menahan perasaannya yang meluap-luap, Brie melepaskan pelukan itu, bermaksud untuk menjauh. Namun, saat menemukan Revan tengah berjongkok sendirian di pojok halaman, ia berhenti dengan mulut menganga.
"What the hell? Kamu baru berdandan pakai oli?" ceplos Brie kepada Revan yang keadaannya begitu berantakan, dengan rambut awut-awutan serta tubuh yang penuh jelaga hitam.
Din berjalan mendekat. "Waktu ada anak yang terperangkap di rumah itu, Mas Revan ini yang pertama berusaha menolong."
Revan membuang muka dengan wajah murung. "Tapi, saya malah terperangkap di sana dan harus ditolong Ismail, Bu. Saya malah jadi beban."
"Stupid idiot," cela Brie.
"Yang penting kan niatnya." Din berjongkok dan menepuk lembut pundak Revan.
Tak berapa lama, Mail datang, mengucek-ucek rambut beberapa anak, baru kemudian menghampiri Din.
"Mobil damkarnya udah datang Bu, tapi bangunannya udah hampir habis," tutur pemuda itu muram.
Din bangkit sambil mengelus-ngelus dadanya. "Duh, kita mau tinggal di mana dong, Le?"
"Aku udah dibilangin pak Lurah, Bu. Katanya, kita bisa nempatin balai kelurahan dulu sampai bangunan yang baru jadi."
"Keluarga saya siap membantu pembangunan kembali." Revan ikut berdiri.
"Syukur kalau begitu," ucap Din tulus, walau gurat kekhawatiran masih tersirat di wajahnya. "Terimakasih, Mas Revan."
"Sebenarnya mereka itu siapa, sih?" tanya Mail kepada Brie. Nada suara pemuda itu mulai mengeras. "Kenapa Mbak Brie dan perempuan itu punya kemampuan yang sama seperti aku?"
Brie mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Aku memang tahu identitas perempuan itu, tapi aku tidak tahu asal dari kekuatan ini. Awalnya aku datang ke sini itu untuk mendapatkan jawaban dari kamu."
"Sama, aku juga ndak tahu apa-apa."
"Kalau begitu, kenapa kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Brie hati-hati.
"Soalnya, aku ndak mau kekuatan khususku ini ketahuan..." Mail menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf, tapi aku belum siap ngomongin masalah itu."
"Le, kamu juga pengen dapat jawaban dari semuanya, kan?" Din ikut nimbrung.
Mail memandang ibu asuhnya itu sambil menelan ludah. "Iya sih, Bu. Tapi kan kita lagi kena musibah."
"Terus, apa langkah selanjutnya dari Mbak Brie?" tanya Din lagi.
Brie menggaruk-garuk rambutnya. Sejujurnya, ia belum berpikir sampai ke sana. "Aah, saya akan mendatangi rumah anak-anak yang kemungkinan punya kemampuan seperti saya dan Ismail... Bagaimana, Rev?"
Dengan diikuti yang lain, Brie menoleh ke arah Revan. Yang diperhatikan melongo sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Lebih baik kamu ikut mereka, Le," ucap Din sambil menepuk punggung Mail. "Boleh kan, Mbak?"
Brie langsung mengangguk.
Mail menunjuk dirinya sendiri dengan mulut menganga. "Sekarang bukan waktunya aku buat pergi, Bu. Aku juga takut mereka bakal datang lagi..."
"Tidak akan, mereka itu cuma mengincar kamu, mengincar orang-orang yang punya kekuatan seperti kamu," potong Brie cepat.
Brie tak peduli ucapannya itu menyiratkan bahwa semua ini terjadi gara-gara Mail. Gadis itu juga mengenyahkan fakta kalau dirinya tak bisa menjamin keamanan para penghuni panti. Yang terpenting Mail bisa ikut dengannya. Meski kurang pengalaman, Mail bisa menjadi amunisi tambahan Brie untuk mengalahkan Sekar.
"Kamu ikut mereka ya, Le?" Dengan mata yang lagi-lagi dilapisi cairan bening, Din mengusap pipi putra asuhnya itu. "Kamu juga pasti lebih aman kalau sama Mbak Brie. Mbak Brie bisa melawan perempuan itu. Yang di sini biar Ibu yang urus."
"Tapi, Bu..." Mail tercekat saat setetes air mata jatuh ke pipinya. Beberapa detik membisu, akhirnya pemuda itu mengangguk pelan.
"Jaga diri baik-baik, Le. Jangan lupa ibadah." Kini giliran Din yang meneteskan air mata.
"Aku pamit ke anak-anak yang lain dulu, Bu."
Begitu Mail menghampiri saudara-saudara pantinya, Revan menunjukkan layar ponselnya kepada Brie. "Sekar baru aja ngirim alamat selanjutnya. Lebih baik kita berangkat sekarang."
Bukannya melihat layar ponsel itu, Brie malah menancapkan pandangannya ke anak-anak yang menggeromboli Mail. Anak-anak itu kembali menangis setelah Mail melontarkan beberapa patah kata.
"Sebentar lagi," desah Brie, lagi-lagi tak sanggup mengendalikan perasaannya.
***
Sambil duduk di pinggiran dipan, Sekar memperhatikan bagian dadanya yang tadi ditusuk pedang Brie. Tak ada bekas luka apa pun di bagian itu. Lebam di perutnya juga sudah lenyap.
Manusia itu sangat lemah, mudah sekali dijangkiti sakit dan terluka. Saking lemahnya tubuh yang dipakainya ini, Sekar sampai tak bisa menyembuhkan diri saat bertarung. Ia harus harus benar-benar memusatkan perhatian pada lukanya, tanpa bisa bergerak sama sekali.
Namun, baginya itu bukanlah masalah. Ia justru lebih bergairah karenanya. Ia masih bisa kalah. Ia harus berjuang untuk menang. Baginya, permainan itu lebih seru kalau dibuat tidak terlalu mudah.
"Sepertinya kau butuh bantuan."
Sekar berdecak. Teman-temannya dari dunia lain itu akhir-akhir ini diam, hanya satu yang terus mengganggunya.
"Tapi, kalau kita bertarung bersama, semuanya akan jadi terlalu mudah," jawab Sekar malas-malasan.
"Aku tidak mengatakan kita barus bertarung bersama. Seperti yang pernah kubilang, tubuh bagianku itu akan membuat semuanya jadi menarik. Maka dari itu aku memintamu untuk tak membunuh suaminya."
Cengiran lebar terbentuk di bibir Sekar. "Dari dulu kau suka mempermainkan perasaan, ya? Aku juga suka, tapi aku tak pernah mau repot-repot memikirkan ide yang semenarik punyamu."
"Jadi, kapan kau mau memasukanku ke tubuh itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasíaNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...