#21 Unforgiven

777 53 0
                                        

Melihat hujaman perisai dari Mail yang datang ke arahnya, Gisel segera menghindar.

Tak punya pilihan, Brie ikut maju untuk menyerang. Mendapati Revan yang tak kunjung beranjak, gadis itu berteriak, "Lari, Rev!"

Belum sempat menghunuskan pedangnya, Brie harus mengelak dari serangan-serangan beruntun sulur Gisel. Mulai kewalahan, Brie segera mundur untuk menjaga jarak, sementara Mail maju menyerang kembali.

Seolah tak memedulikan huru-hara itu, Tiara menghampiri mayat ayahnya sambil terus meneteskan air mata.

"Bitch!" umpat Brie, menerjang Gisel yang mulai sibuk meladeni Mail.

Gisel melancarkan dua sulurnya ke arah Brie. Dengan sigap, Brie menangkap sulur-sulur itu dengan kedua tangannya. Sebelum sulur lain menyerangnya, Brie melompat dan memutar tubuhnya ke belakang. Tubuh Gisel tersentak dan tersungkur. Tak membuang kesempatan, Mail mengangkat perisainya.

Krakkk!

Sebagian area aspal retak begitu terhujam ujung perisai. Gisel berhasil berguling menghindar.

"Satu gerakan dan dia akan mati," ancam Gisel sebelum Mail menyarangkan serangan kedua.

Perhatian Mail dan Brie terpaku kepada salah satu sulur Gisel. Entah sejak kapan ujung sulur itu jaraknya hanya tinggal beberapa senti dari tengkuk Tiara. Tak menyadari hal itu, Tiara masih saja berlutut meratapi mayat ayahnya.

"Diam di tempat, jangan melakukan apa-apa," perintah Gisel dengan pembawaan santai, bangkit sembari menunjuk Mail. "Kamu, pergi yang jauh."

Mail memandang ke arah Brie dengan wajah penuh tanda tanya. Begitu mendapat anggukan dari Brie, pemuda itu mulai mundur teratur.

"Yak, terus, terus, terus... Cukup," ucap Gisel saat jaraknya dengan Mail sudah cukup jauh. Sekarang, gadis itu berganti menunjuk Brie. "Diam di sana. Kalau kamu berpindah satu senti saja atau menangkis, Tiara akan mati."

Kembali tersenyum samar, Gisel mengangkat tiga sulurnya yang tersisa. Brie cuma bisa menyeringai. Gadis di hadapannya ini lebih sulit diprediksi dari Sekar. Ia jadi tak bisa menyusun rencana dengan baik.

Ujung sulur-sulur itu mulai bergerak cepat ke arah Brie.

Srat!!! Srat!!! Srat!!!

"Ugh!!!" Meski merasakan perih di kulitnya akibat gesekan-gesekan sulur, Brie mati-matian bertahan.

"Brie!!!" pekik Mail.

"Jangan! Tetap di situ, Mail!" cegah Brie saat Mail akan mendekati Gisel.

Hujaman-hujaman terus berdatangan. Mendapat serangan di titik-titik yang sama tanpa henti, lama-lama kulit Brie mengucurkan darah segar. Merasakan perih yang makin tak terperi, ia pun akhirnya berlutut.

Sial, menolong orang ternyata menyakitkan.

Ya, dirinya bisa saja lari dan tak memedulikan Tiara. Bahkan tadi ia tak perlu repot-repot mencegah Revan yang akan memeluk Gisel. Lalu, mengapa dirinya melakukan semua itu? Brie sudah memutuskan untuk tak terlalu memikirkan jawaban dari pertanyaan itu.

"Gisel!!!" Tanpa diduga-duga, Revan datang dan memeluk tubuh kekasihnya sambil berlutut. Tangis pemuda itu pun pecah. "Berhenti, Gisel! Kumohon!!!"

Terkejut, Gisel menghentikan serangannya. Melihat kesempatan, Brie berlari dan membawa tubuh Tiara tanpa memedulikan perih-perih menyengat di tubuhnya. Setelah mereka berdua tersungkur di halaman rumah, Tiara tersentak karena melihat luka-luka di tubuh Brie. Brie menunjuk Wilis yang masih pingsan di lantai, kemudian memberi isyarat dengan tangannya agar Tiara masuk. Awalnya Tiara cuma melongo, tapi begitu Brie mengguncang-guncang tubuhnya, ia mengangguk pelan.

Dengan susah payah, Brie bangkit dan menghampiri Gisel lagi. Gisel baru saja melemparkan Revan ke pinggir jalan, tak menyadari Mail sudah berlari ke arahnya.

Brak!!!

Begitu perisai Mail menabraknya, Gisel terpelanting dan mendarat di sawah. Tanpa pikir panjang, Brie mempercepat larinya lalu melompat ke sana, langsung membenamkan kepala Gisel ke lumpur.

Gisel berhasil memberontak dan bangkit. Namun, karena pandangannya terhalang lumpur, serangan sulurnya jadi tak terarah. Brie jadi bisa menusuk telak dada Gisel sampai membuatnya terjungkal. Belum sempat berdiri, Gisel merasakan tusukan pedang Brie di punggungnya, membuat tubuhnya terbenam lagi di lumpur.

Napas Brie kini begitu terputus-putus, pandangannya mengabur, dan gerakannya melambat. Kesadarannya tengah menurun drastis. Darahnya sudah berkurang banyak. Tak kuat lagi, ia jatuh berlutut.

Baru saja berdiri lagi, Gisel harus mendapat hantaman telak perisai Mail di mukanya. Gadis itu kembali rubuh, tapi berhasil membelit sebelah kaki sang musuh dengan sulurnya. Tubuh Mail langsung tumbang saat sulur itu ditarik keras.

"Ahahahahaha!!!"

Tersentak hebat, Brie mengalihkan perhatiannya ke arah tawa itu berasal, yakni dari halaman rumah Tiara. Di sana, seseorang tengah menyeret tubuh Tiara yang sudah tak bergerak. Dengan susah payah, Brie berusaha bangkit, tetapi energi di kakinya seolah disedot habis. Ia langsung tersungkur saat kakinya belum tegak sepenuhnya.

Itu Sekar. Tertawa-tawa keras seperti biasanya.

"Ahahahaha!!! Seharusnya kamu mengajakku dari tadi, Merah!" seru Sekar keras-keras "Dan kalian diam di situ! Kalian tidak mau nyawa gadis cantik ini terancam, kan?"

Ditunjuk oleh Sekar, Mail yang sudah beberapa langkah meninggalkan sawah langsung mengerem kakinya, sementara Gisel segera keluar dari lumpur dan menghampiri rekan penjahatnya itu.

"Sampai jumpa lagi!!!" Sambil terus tertawa, Sekar melempar tubuh Tiara ke dalam mobil yang tadi dinaiki Gisel.

Wilis keluar dari rumah, berlari mengejar putrinya sambil berteriak-teriak. Namun, Sekar dan Gisel keburu masuk ke dalam mobil.

Melihat mobil itu mulai melaju, Brie cuma bisa memukul lumpur dan mendengus.


Nggak ada yang kaget, kan?


Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang