"Bisa tidur?" tanya seorang pria paruh baya berambut klimis penuh uban kepada Brie.
Brie yang baru bangun mengucek matanya, menatap pria yang berdiri di samping dipan tempatnya berbaring itu. "Sedikit, Dok."
"Saya sudah mendengar sebagian ceritanya dari mereka." Pria berdahi lebar itu menunjuk Revan dan Mail yang tertidur di sofa ruangan. "Kata mereka, kamu itu punya semacam kekuatan khusus."
"Begitulah, Dok." Brie sedikit melenguh saat membenarkan posisi tidurnya. Luka-lukanya memang tak ada yang fatal, tapi tetap saja ia masih merasakan perih-perih yang menggigit.
"Dua tahun lalu, saya menangani pasien yang mengaku menggunakan serum khusus. Selain meningkatkan kekuatan otot dan staminanya, serum itu juga meningkatkan regenerasi tubuhnya. Lukanya jadi bisa cepat sembuh," kenang sang dokter, sedikit menerawang ke atas. "Apa tubuh kamu juga bisa seperti itu? Bisa beregenerasi dengan cepat?"
"Sepertinya tidak, Dok." Brie mengernyitkan dahi, sedikit kaget dengan bahan obrolan yang diangkat sang dokter. "Memangnya siapa dia? Si superhero itu?"
"Saya tidak bisa berbicara lebih banyak. Rahasia klien."
Brie cuma manggut-manggut. Ia tak terlalu tertarik untuk melanjutkan topik itu. "Terimakasih banyak, Dok. Saya tahu dokter sebenarnya sudah pensiun menangani orang seperti saya."
"Tidak apa-apa. Saya belum pensiun sepenuhnya, kok. Saya hanya tidak mau keluar dari kota ini," jawab sang dokter sambil menyunggingkan senyum tipis. "Sekarang istirahatlah."
Brie balas tersenyum kepada dokter ilegal yang kontaknya ia dapat dari Steph itu. Dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, polisi pasti akan mengendus sesuatu. Sebisa mungkin, ia harus menghindari fasilitas publik.
Sang dokter pergi meninggalkan Brie tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Mail terbangun, menggeliat sejenak lalu berdiri dan menghampiri Brie.
"Pagi," sapa Brie.
"Pagi." Mail menguap, meraih kursi kayu terdekat dan duduk dengan mata setengah terbuka. "Gimana keadaan kamu?"
Sedikit mencibir, Brie melirik jarum infus yang menusuk tangan kirinya. "Rasanya seperti pasien."
Mail terkekeh pelan, tapi itu hanya sebentar. Dengan wajah serius, ia memandangi mata Brie dalam-dalam. Karena biasanya mendapat pandangan mesum atau profesional dari lelaki, Brie tak bisa menebak air muka pria itu.
"Ada apa, sih?" tanya Brie, sedikit merasa tak nyaman.
"Jujur, aku kagum waktu kamu nahan serangan-serangan Gisel kemarin, tapi apa yang ngebuat kamu bisa ngelakuin hal seperti itu? Apa yang ngebuat kamu rela berkorban demi orang lain?"
Pertanyaan itu seolah menghujam jantung Brie. Selama beberapa hari terakhir, dadanya dipenuhi emosi-emosi yang bahkan Brie sendiri tak tahu bisa dirasakan olehnya: ketidak-relaan saat seseorang mati sia-sia, kesedihan saat melihat sekelompok anak kehilangan tempat berteduh, kehangatan baru yang didapatkan dari sang ibu panti, dan keinginan agar satu keluarga tetap bahagia. Awalnya ia selalu menampik hal-hal seperti itu, tapi akhirnya hatinya menyerah.
"Ah... Itu..." Tanpa sebab jelas, Brie mulai gugup. "Yah, itu karena... Karena aku peduli."
Bahkan Brie merasa kalimat itu belum bisa mewakili kondisi perasaannya sekarang ini.
"Kenapa kamu peduli?" tanya Mail lagi.
Brie menatap langit-langit. Lapisan cairan bening mulai menghiasi matanya. "Sebelum ini... Yah, seperti Revan, dulu hidupku itu terasa kosong, Mail. Aku cuma..."
Brie tercekat. Ia tak mungkin mengatakan kalau selama ini kehidupannya hanya diisi dengan membunuh orang, menunggu misi selanjutnya dengan latihan sendiri, dan melakukan interaksi palsu demi memuluskan pekerjaan. Ia tak mau kehidupannya menjadi kosong seperti itu lagi. Ia tak mau kehilangan emosi-emosi baru yang mengisi hatinya ini. Ia tak mau kesepian lagi. Ia tak mau membunuh lagi.
Revan yang ternyata sudah bangun cuma memandangi gadis itu sambil bersedekap.
Pintu ruangan itu berderit terbuka, Wilis mengintip sebentar lalu masuk. Ia berjalan mendekati Brie dengan mata yang begitu sembab.
Brie buru-buru menghapus cairan bening dari kedua ekor matanya, kemudian bertanya untuk mengalihkan pembicaraan, "Darimana Ibu tahu tempat ini?"
"Pak Dokter itu adalah teman nyai Pratista, jadi saya tahu waktu Mbak bilang mau ke sini," jawab Wilis dengan bibir bergetar.
"Lala mana, Bu?" Mail yang menyadari Wilis datang sendirian ikut bertanya.
"Saya titipkan ke saudara," timpal Wilis cepat lalu memijat kening. Ia terdiam dengan mata terpejam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya bertanya, "Jadi, apa langkah kalian selanjutnya? Dari kemarin saya berniat lapor polisi, tapi saya ingat kalau ada pengikut nyai Pratista yang jadi petinggi di sana."
Brie mengangkat kedua alis. Pantas saja sampai saat ini ia belum berbenturan dengan pihak berwajib, padahal tragedi-tragedi yang dilaluinya sudah cukup besar. Mungkin mereka baru akan datang setelah Sekar memperbolehkannya.
"Tentu saja kita mendatangi mereka. Kita akan menyelamatkan Gisel dan anak Ibu." Dengan sedikit menggeram, Revan ikut nimbrung.
"Memangnya Sekar sudah memberi tahu lokasinya ke kamu?" tanya Brie.
Revan langsung membuang muka. Wilis melemparkan dirinya ke sofa dan menunduk lesu. Mereka benar-benar tak bisa berbuat apa-apa.
"Lagian, Brie masih luka-luka, Mas. Jujur, aku ndak sanggup ngelawan mereka sendirian," tambah Mail.
"Mungkin dengan memusatkan kekuatan ke luka-luka itu, kamu bisa sembuh."
Semua yang ada di sana menoleh ke sumber suara itu, yakni dari dekat pintu ruangan yang baru terbuka kembali. Di sana,—berjejeran dengan sang dokter—berdiri seorang perempuan kurus berpenampilan awut-awutan bak orang gila.
"Pratista?" Wilis yang terkesiap bangkit dari duduknya.
Pratista melanjutkan, "Aku mendengar dan melihat dari makhluk yang..."
Kata-kata Pratista terpotong gara-gara Wilis yang menarik kerah bajunya. Saat Wilis menatap tajam dirinya, Pratista malah menoleh ke arah lain.
"Di mana anakku!?" hardik Wilis keras-keras.
"Di mana Gisel!? Apa yang terjadi dengannya!?" Revan ikut berdiri dan mendekati Pratista.
"Aku bisa jawab pertanyaan kalian, tapi lepaskan aku dulu," jawab Pratista lirih.
Wilis mendorong kasar tubuh Pratista sampai hampir terjatuh.
"Tadi Bu Prat... Tadi Bu Nyai berkata, kalau saya memusatkan kekuatan, maka luka saya bisa sembuh?" Brie memastikan apa yang baru didengarnya. "Apa maksudnya 'memusatkan'?"
"Kamu Brie, kan? Sekar sering bercerita tentang kamu," balas Pratista, secara bergantian memandangi Revan dan Wilis, dua orang yang terlihat seperti bisa membunuhnya kapan saja. "Aku tidak tahu secara detail bagaimana cara mereka melakukannya. Yang jelas, Sekar dan Gisel bisa menyembuhkan luka-luka di tubuh mereka sendiri dengan mudah."
Wilis mendengus. "Sekarang, jawab pertanyaanku!"
"Whoa!" Sang dokter menghalangi Wilis yang seperti akan mencekik Pratista. "Lebih baik kalian menyelesaikan masalah ini setelah saya memeriksa nyai Pratista. Kasihan, katanya dia sering disiksa."
Untuk kedua kalinya, Wilis mendengus. Ia pun kembali duduk di sofa. Revan memandang tajam Pratista dan ikut duduk. Sang dokter lalu mempersilahkan Pratista untuk masuk ke area periksa bersekat tirai yang ada di salah satu sudut kamar.
Brie memperhatikan perban-perban yang melilit tubuhnya. Merasa informasi Pratista patut dicoba, ia mengaktifkan kekuatannya. Seketika saja, pedang dan pola-pola emas di tubuhnya itu muncul. Kemudian, ia berpikir untuk memusatkan apa pun yang membuat tubuhnya seperti itu ke lukanya.
Ada yang kenal dokter ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasíaNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...