Brie berdiri termangu, begitu heran dengan lokasinya sekarang: sebuah kamar yang didominasi warna putih. Bukan berarti kamar itu asing, tetapi seharusnya ia tidak ada di situ. Seingatnya, ia baru melemparkan diri ke kasur hotel yang empuk.
Perlahan, ia mulai mengamati keadaan di sekitarnya. Satu meja belajar, satu lemari, serta satu dipan, model perabot-perabot di sana juga sangat familier baginya. Tentu saja, tempat itu adalah kamarnya waktu masih kecil.
Pandangan Brie terhujam ke sebuah poster yang menempel di dinding. Sama seperti yang diingatnya terakhir kali, poster itu masih menampilkan salah satu tokoh di film kartun favoritnya, seorang gadis berkulit putih dengan rambut emas yang begitu panjang.
Brie ingat, beberapa tahun lalu, ketika film itu baru beredar, ia meminjam DVDnya di salah satu rental video. Awalnya ia cuma penasaran mengenai jalan cerita dari dongeng yang diangkat oleh film itu. Berbeda dengan anak lain, ia tak pernah mendapat dongeng pengantar tidur.
Begitu menontonnya, Brie langsung jatuh cinta dengan film itu. Namun anehnya, ia tak tahu pasti apa yang membuatnya seperti itu. Karena melihat seorang gadis yang tinggal di gedung tinggi dan tak merasa disekap? Gara-gara menikmati petualangan gadis itu saat terbebas? Tertarik karena tema menggapai impian dari film itu?
Brie tak tahu dan sekarang ia tak peduli.
"Nostalgia, ya?" Terdengar suara yang begitu familier dari samping Brie.
Saat menoleh ke arah suara itu, Brie langsung melongo. Seingatnya, di kamar itu tak ada cermin, tapi mengapa dia melihat dirinya sendiri berdiri di sampingnya? Dan yang lebih aneh, kembarannya itu tetap melihat poster, tidak menghadap dirinya. Jadi, yang dilihat Brie bukanlah sebuah refleksi.
"Ini mimpi, kan?" Sadar tak merasakan degup jantung yang seharusnya menguat karena kaget, Brie mencubiti kulit tangannya. Berkali-kali melakukannya, ia tak merasakan apa pun. "Oke, ini mimpi."
Sang kembaran menghadap Brie sambil tersenyum. Brie langsung menatap jijik busana yang dikenakan kembarannya itu: gaun ungu khas yang dipakai Rapunzel, tokoh utama dalam film favoritnya di poster.
"Kamu mau jadi Disney Princess?" tanya Brie sambil meringis, tangannya sudah gatal untuk menyobek-nyobek gaun itu.
"Kamu juga memakai yang sama denganku, kok."
Serta-merta Brie mengecek busananya sendiri. Benar saja, gaun yang membalut tubuhnya sama persis dengan yang dipakai si kembaran.
"Oh my god! Ini adalah mimpiku yang paling buruk," dengusnya luar biasa kesal.
"Aku cuma mengambil secara acak unsur-unsur dari kenanganmu untuk membentuk ruang seperti ini, agar aku bisa lebih mudah berkomunikasi denganmu."
"Aah." Brie langsung mengerti. "Kamu salah satu dari makhluk yang berniat merasuki aku dan anak-anak itu, kan? Kenapa kamu baru menghubungiku sekarang?"
"Karena tak mempunyai bakat spiritual seperti Pratista, pada dasarnya kamu tak akan mampu berhubungan dengan kami. Hanya saja, waktu kamu membunuh si Merah, pikiranmu dan pikiran si Merah terhubung untuk beberapa detik..."
"Terhubung beberapa detik? Apa karena pikiran kita terhubung, aku jadi bisa melihat kenangan-kenangan milik Gisel?" potong Brie sinis. Meski ini hanya dalam mimpi, ia tetap harus waspada.
"Begitulah... Hmmm... Lalu, susunan roh manusia dan makhluk tak kasat mata seperti kami itu berbeda. Komunikasi batin seperti ini memerlukan susunan roh yang hampir sama. Tak harus sama seluruhnya, sebagian saja."
"Seperti frekuensi radio yang harus sama untuk bisa saling berhubungan?" tanya Brie. Dirinya belum bisa menangkap sepenuhnya perkataan si kembaran.
![](https://img.wattpad.com/cover/123693476-288-k115142.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasyNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...