Brie hanya menangkis dan menghindari sabetan-sabetan golok yang terus dilancarkan pria gondrong itu. Sesekali matanya melirik Gisel yang masih berdiri diam di kejauhan. Brie tahu dirinya harus keluar dari situasi ini secepatnya. Sayangnya, ia benar-benar belum menemukan ide bagus.
"Gisel!"
Semua yang ada di situ menoleh ke arah tangga. Revan baru saja naik ke lantai dua bersama Wilis. Melihat Gisel yang perhatiannya teralih karena Revan, Brie berlari dan menubruk tubuh sang musuh. Keduanya berguling di lantai dan Brie berhasil menindih tubuh Gisel.
"Lari!!!" pekik Brie yang tengah menghalangi pandangan Gisel dengan tangannya.
Para pria terdiam sejenak, sebelum akhirnya berlari kabur.
"Tiara mana!?" tanya Wilis, mendekati Brie dengan takut-takut.
Brie mengedikkan kepalanya ke kamar tempat Tiara disekap, sekaligus menekan ujung pedangnya ke leher Gisel. Wilis pun segera berlari ke arah yang ditunjuk Brie.
"Akhhhh!!!" Gisel berontak sambil meringis kesakitan. Setelah sedikit meraba-raba, ia berhasil melepaskan tangan Brie yang menutupi matanya.
"Jangan!!!" Revan segera menangkap tangan berpedang Brie dan berusaha menariknya.
Karena perhatiannya teralih, Brie tak sadar sulur-sulur Gisel sudah menjerat perutnya. Sulur-sulur itu menarik Brie dan melemparkannya sampai menabrak dinding. Setelah mendorong Revan yang akan memeluknya, Gisel pun bangkit.
"Tunggulah, aku punya rencana untukmu, suamiku," ucap Gisel kepada Revan yang baru saja terhempas.
Saat akan mengejar Wilis yang sudah masuk kamar, Gisel merasakan sesuatu yang berat di kaki kirinya. Ternyata Revan tengah memeluk kakinya itu erat-erat.
"Hentikan, Gisel! Kamu nggak sayang aku!?" teriak Revan dengan linangan air mata.
Berdecak kesal, Gisel menendang keras tubuh Revan. Pemuda itu kembali terhempas, terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya.
Brie yang baru bisa bangkit berusaha mengejar Gisel, tapi jaraknya dengan sang musuh masih cukup jauh.
Begitu memasuki kamar, Gisel menemukan Wilis yang tengah menggoyang-goyang tubuh Tiara. Namun, meski Wilis sudah deras mengalirkan air matanya, Tiara tak kunjung merespon.
Sadar usahanya sia-sia, Wilis merangkulkan tangan Tiara ke bahunya, bermaksud memapah putri tersayangnya itu.
Crasss!!!
Gerakan Wilis terhenti seketika. Tiara pun tersungkur ke lantai karena pegangan sang ibunda terlepas. Dengan mulut yang memuncratkan darah, Wilis menengok dadanya yang mulai dirajam sakit tak terkira. Di sana, dua ujung sulur Gisel telah menancap dalam, membuat kaosnya dirembesi warna merah.
Brie yang baru masuk langsung menghentikan larinya. Ia sudah akan menyelamatkan Wilis saat menyadari dua sulur Gisel yang lain sudah ada di depan muka Tiara. Merasa tak berdaya, Brie cuma bisa menggertakkan giginya.
"Akhhh..." Wilis cuma bisa merintih saat sulur Gisel mengangkat tubuhnya.
Merasakan setetes darah yang hangat dan kental di keningnya, Tiara mulai mengerjap-ngerjap, kemudian mendongak ke arah sang ibunda. Perlahan, ia mengubah posisinya menjadi duduk seraya membelalakkan mata.
Sulur yang mengangkat Wilis mengelebat cepat. Tubuh Wilis langsung terlempar keluar melewati loteng.
"Aaa... Aaa... Aaaaaa!!!" Tiara menangis sekencang-kencangnya. Ia merayap cepat menuju loteng dengan terus diikuti sulur-sulur Gisel.
Brie menutupi mulutnya. Ia sudah tak sanggup lagi menjadi saksi kejadian gila seperti ini. Dadanya seperti dirajami ribuan mata pedang, begitu sakit.
Sehabis memberi isyarat kepada Brie agar tak mengikutinya, Gisel menghampiri Tiara lalu berjongkok. Mulut gadis gila itu mendekati telinga sang korban. "Kenapa kamu tidak menolong ibumu? Bukankah kekuatan kamu sudah bangkit saat melawan Sekar kemarin? Kenapa? Kenapa sebagai anak kamu membiarkan ibu kamu mati? Kamu sudah bisa mendengar, kan? Kamu mengerti ucapanku, kan?"
Wajah Tiara langsung mengilatkan kengerian tak terperi. Seolah dirinya baru saja mendengar bisikan setan.
Tak tahan lagi, Brie berlari menerjang.
"Ekhhhh!!!" Mendapat lilitan sulur di lehernya, Tiara meronta.
Lagi-lagi Brie menghentikan gerakannya, takut kalau-kalau leher Tiara dipatahkan. Gisel tersenyum puas. Gadis gila itu terlihat begitu menikmati semua ini. Berbeda sekali dengan Brie, yang pipinya mulai dialiri air mata.
Gisel melonggarkan jeratannya dan kembali berbisik, "Kamu itu tidak berguna, tidak mau menyelamatkan ibu yang sudah membesarkanmu dengan kasih sayang. Apa kamu masih pantas hidup? Mungkin akan lebih baik kalau kamu melompati loteng itu."
Dengan kepala menunduk, Tiara bangkit dan berjalan pelan menuju loteng, dibuntuti Gisel yang masih mengalungkan sulur ke lehernya.
"Jangan, Tiara!!!" cegah Brie saat Tiara akan memanjat pagar loteng. "Bagaimana dengan Lala, adik kamu? Nanti dia sendirian!"
Tersentak, Tiara menghentikan gerakannya. Gisel pun langsung memasang kuda-kuda. Anehnya, mulut gadis gila itu masih saja menyunggingkan senyum, seolah perkataan Brie tak memberi dampak apa pun kepadanya.
"Katanya kekuatan kamu sudah bangkit, kan?" tanya Brie, mengangkat pedangnya penuh amarah. "Sekarang, konsentrasi untuk mengaktifkannya seperti saat pertama kali kekuatanmu itu bangkit. Kita lawan perempuan gila ini bersama-sama."
Bersamaan dengan kulit gelapnya yang mulai dihiasi pola-pola kelopak bunga merah muda, Tiara menengok ke arah Brie.
Zap!
Sayang, pola-pola itu langsung lenyap saat Gisel kembali mengencangkan jeratannya di leher Tiara. Kemudian, dalam waktu sepersekian detik, sulur itu menarik keras Tiara. Gadis itu pun terhentak ke luar loteng.
"Tiara!!!" pekik Brie saat melihat sulur yang jelas sekali sedang menahan beban di bawah itu. "Bitch!!!"
Dengan air mata yang makin deras mengalir, Brie menerjang maju.
Well... Ini chapter yang paling banyak diedit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasiNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...