Pratista memakan roti bakar yang disediakan sang dokter dengan begitu lahap. Brie—yang juga ikut makan bukan karena ingin, tapi demi mengembalikan energi di tubuhnya—terus menghujamkan pandangannya ke wanita itu, sementara Revan dan Wilis berkali-kali mengubah posisi duduk karena gelisah. Sang Dokter memang meminta agar keduanya bersabar sampai kondisi Pratista cukup baik.
"Luar biasa sekali." Sang Dokter yang tengah membuka perban Brie menggeleng-gelengkan kepala, takjub dengan kulit Brie yang kini kembali mulus, tanpa bekas luka sama sekali.
Setelah mencoba selama beberapa menit, saran dari Pratista itu berhasil, tubuh Brie sudah tidak dijangkiti perih.
"Lumayan, Dok. Saya jadi tidak perlu membayar operasi laser untuk menghilangkan bekas luka," gumam Brie, menggigit rotinya lagi.
"Jadi, apa kamu sudah mau ngomong?" tanya Wilis saat Pratista mulai menjilati selai di jarinya.
"Itu tidak ada yang mau?" Bukannya menjawab, Pratista malah menunjuk piring berisi roti bakar yang belum disentuh Revan dan Wilis di atas meja. "Buat aku saja, ya?"
Mendapat kesan Pratista mengulur waktu, Brie menjejalkan roti bakarnya ke mulut dan segera bangkit. Sebelum Pratista meraih sisa roti bakar, Brie mengalungkan lengannya ke leher ibunda Sekar itu.
"Santai, Brie!" seru Mail, bangkit dengan mulut penuh.
Brie menempelkan tangan kirinya yang terkepal ke leher Pratista. Setelah menelan makanannya, gadis itu mendesis, "Bu, sama seperti tangan Sekar, tangan saya ini juga bisa mengeluarkan benda tajam. Apa Bu Nyai tahu apa yang terjadi kalau benda tajam mengenai kulit leher seseorang?"
"Ja... Jangan!" pekik Pratista ketakutan.
"Mbak, cobalah berpikir jernih," keluh sang Dokter.
Brie memberi tanda dengan jarinya agar yang lain tak mendekat. "Jadi, akan lebih baik kalau Bu Nyai menceritakan semuanya secepat mungkin."
Pratista menelan ludah. "Ta... Tapi aku punya syarat!"
"Apakah Bu Nyai merasa sedang dalam posisi yang pantas untuk mengajukan syarat?" gumam Brie dingin, sama sekali tanpa nada terburu-buru. Gadis itu memang sedang tidak hilang kesabaran, ia cuma berpikir kalau cara ini adalah yang paling efektif untuk mengorek informasi dari Pratista.
"Aku cuma minta uang untuk... Aku butuh uang untuk biaya kabur dari Sekar." Pratista mulai menangis pelan.
"Begitu, ya?" Brie melepaskan cekikannya dan mendorong pelan Pratista agar duduk di kursi lagi. "Baiklah, akan saya pikirkan, tapi itu kalau Bu Nyai menceritakan hal yang sebenarnya."
Pratista mengelus-ngelus dadanya sambil mengatur napas. Ia memandang sekilas orang-orang yang ada di situ, sebelum akhirnya berucap, "Apa yang ingin kalian ketahui?"
"Sekarang, katakan di mana Gisel!" hardik Revan.
"Dan juga Tiara!" sambung Wilis.
"Tunggu," ucap Brie kepada dua orang itu. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mendapat jawaban yang dicarinya. "Itu bisa kita dapatkan nanti. First, kita harus bertanya mengenai kekuatan yang didapat olehku, Mail, Sekar, dan Gisel. Aku juga ingin tahu kenapa Gisel dan Sekar bisa jadi gila seperti itu."
"Untuk apa?" tanya Revan tak sabar. "Nanti kita terlambat menyelamatkan Gisel!"
Brie menahan diri agar emosinya tak terpancing. "Kalau sudah tahu keberadaan Gisel, kamu mau apa?"
"Tentu saja datang ke sana!"
"Tanpa persiapan? Look, mungkin kita bisa tahu kelemahan Sekar dan Gisel dari bu nyai. Kita jadi bisa memikirkan strategi yang baik untuk melawan mereka."
Revan menggaruk-garuk kepalanya gusar. "Aku akan pergi walaupun harus sendiri! Nyai Pratista, katakan di mana mereka sekarang!"
Melihat Revan mendekati Pratista yang berjengit kaget, Mail segera menahannya. "Benar apa kata Brie, Mas Revan."
"Yang punya kekuatan itu aku dan Mail, Revan," balas Brie dengan sedikit menggeram. Ia tak tega membiarkan Revan pergi sendiri. "Apa yang akan kamu lakukan di sana? Melawan mereka dengan gadget canggih? Kamu memang kaya, tapi kamu bukan Batman..."
Menyadari kalimatnya yang mulai ngawur, Brie merapatkan bibir. Ia sedang bersusah-payah untuk berpikir jernih. Emosi yang meluap-luap di dadanya ini begitu mempengaruhi otaknya.
Wilis yang sedari tadi berapi-api kini memijat kening. "Saya setuju dengan Mbak Brie, kita harus merencanakan ini dengan matang."
"Kamu seharusnya tahu, kalau kamu ke sana, kamu cuma diam ketakutan," lanjut Brie tanpa ampun, benar-benar ingin Revan tak gegabah.
"Brie," keluh Mail tak percaya.
"Tapi... Gisel..." Wajah Revan memerah.
"Itu bukan Gisel. Orang yang kalian kenal sebagai Gisel itu sudah tiada. Begitu juga Sekar... Sekar juga sudah mati..." Kata-kata Pratista seolah tersangkut di tenggorokan.
"Apa maksud Bu Nyai?" Brie memastikan dirinya tak salah dengar.
Pratista menarik napas dalam-dalam. "Tubuh mereka memang manusia, tapi roh mereka sudah digantikan sesuatu... Suatu entitas yang lain..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasiNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...