#8 No Escape

1.3K 87 0
                                    

Sambil terus memegangi perutnya yang seperti berdenyut, Brie mengamati pintu gerbang gedung. Ada beberapa memang, tapi sayangnya semua itu berada di belakang Sekar dan Gisel. Brie tak punya pilihan selain melewati salah satu dari mereka.

"Pestanya sudah bisa dianggap selesai, kan? Kita tidak mungkin melanjutkannya bertiga saja?" lontar Brie, berusaha menekan ketegangan tak tertahankan di dadanya.

"Ahahahaha!!! Lucu sekali!" Tawa Sekar makin keras.

Tak menanggapi, Gisel menerjang ke arah Brie. Bukannya kabur atau balas menyerang, Brie malah berlari mendekati Sekar sambil mengangkat pedang. Tersenyum lebar, Sekar menyambut Brie dengan sabetan sabit.

Brie menunduk dan bergeser. Sesuai dugaan Brie, Gisel yang tak bisa berpikir kini menyerang Sekar. Sekar langsung mundur untuk menghindar. Lantai keramik di sekitar situ pun retak-retak terkena hujaman sulur Gisel.

Tak memedulikan semua itu, Brie terus melarikan diri. Namun, Sekar menerkamnya dari belakang. Setelah berguling-guling sejenak, Brie segera bangkit, tapi sulur-sulur Gisel keburu membelit pinggang, kedua tangan, dan sebelah kakinya.

Dengan kaki yang bebas, Brie segera menginjak sulur yang membelit tangan berpedangnya. Lalu, ia menusukkan pedangnya itu dalam-dalam ke lantai. Sekar jadi kesulitan menarik Brie, yang kini balas menarik dengan mengerahkan seluruh tenaganya.

"Little help, please!?" teriak Brie kepada Sekar, benar-benar tak punya pilihan lain. Tubuh Brie sudah mulai bergeser ke depan. Nyeri di perutnya makin menjadi-jadi karena bebatan sulur dan tangan berpedangnya seperti akan ditarik putus.

"Hmmm... Baiklah, aku tolong," jawab Sekar lalu tertawa lagi dan berlari ke arah Gisel.

Sekar melancarkan sabetan-sabetannya kepada Gisel. Karena gerak yang terbatas, Gisel berkali-kali terkena sabetan-sabetan itu, tapi tubuhnya tidak kunjung terluka. Tebasan-tebasan itu hanya meninggalkan lebam merah memanjang.

Belitan yang ada di perut, sebelah tangan, dan satu kaki Brie akhirnya terlepas. Gisel kini menggunakan sulur-sulurnya yang bebas untuk menangkis dan menyerang Sekar.

Tak sanggup mengiris atau melepaskan satu sulur yang masih membelit tangan kanannya, Brie memilih untuk menggulung sulur itu. Gisel tak sempat menggerakkan sulur itu karena terlalu sibuk meladeni Sekar.

Sekar melancarkan sabetannya ke titik yang sama di pipi Gisel untuk kesekian kalinya. Kali ini, kulit di pipi itu jebol dan mulai mengucurkan darah.

Begitu sudah dekat dengan dua gadis itu, Brie melingkarkan gulungan sulur di tangannya ke leher Gisel dan menariknya keras-keras. Gisel jatuh terlentang, membuat sulur-sulurnya jadi tak terkendali. Melihat kesempatan emas yang pasti singkat itu, Sekar segera menangkap semua sulur dan menahannya.

Tanpa ampun, Brie menginjak kedua mata Gisel. Bersamaan dengan itu, Brie bisa melihat luka bekas hujaman sabit Sekar di dada Gisel. Hampir tanpa berpikir, Brie menukikkan ujung pedangnya ke luka itu.

"Raaaaaa!!!" Gisel berteriak saat pedang itu menusuk lukanya. Tangannya menggelepar-gelepar, berusaha melepaskan telapak kaki Brie yang menghalangi mukanya. Akan tetapi, Brie keburu mengangkat pedangnya kembali.

Crasss! Crasss Crasss!

Brie menusuk-nusuk dada musuhnya itu tanpa henti. Gerakan Gisel lama-kelamaan melambat, sampai akhirnya kedua tangan sang pengantin wanita tumbang. Tangan Brie pun terbebas dari belitan sulur.

Saat Brie mencabut pedang, kenangan Gisel tiba-tiba datang ke matanya. Sekarang, Brie melihat Revan yang tengah menyodorkan kotak kecil berisi cincin ke arahnya.

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang