#16 Confession

805 57 0
                                        


"Sekali lagi makasih banyak loh, Mas. Bantuan Mas Revan buat panti saya itu sangat berarti," kata Mail yang duduk di kursi depan, mengulang kalimat yang dilontarkannya sejak berangkat dari panti. "Ini makasih juga udah mau beliin saya baju, tapi kok di toko mahal-mahal, ya?"

"Bukan apa-apa," timpal Revan datar.

Brie yang sejak tadi tidur di kursi belakang membuka matanya dan menemukan kantong plastik besar di lantai mobil. Saat memeriksanya, gadis itu mendapati beberapa potong baju lelaki. "Shopping sehabis bertarung, ya? Sepertinya aku perlu mencontohnya untuk hiburan."

Mail menengok ke belakang sambil tersenyum ramah. "Seumur-umur, aku belum pernah ngalamin kejadian seperti tadi malam, Mbak. Mungkin kalau diurut, itu kejadian paling menakutkan nomor dua di hidupku."

"Eh, nomor dua? Memangnya nomor satunya apa?" tanya Brie, menatap lurus mata Mail.

Mail langsung menghadap ke depan lagi. Brie tak sempat melihat ekspresinya.

"Waktu kekuatanku ini bangkit," jawab Mail, mengamati tangan kanannya yang mengepal.

"Hmmm... Memangnya apa yang terjadi waktu kekuatan kamu bangkit?"

Senyuman getir terentang di bibir Mail. "Aku masih belum sanggup cerita, Mbak."

"Jangan panggil aku Mbak, panggil Brie saja."

Wajar kalau Mail akan menutupi momen kebangkitan kekuatannya. Barangkali saat hal itu terjadi, Mail mengamuk seperti Brie atau Gisel. Meski menyadari hal itu, Brie tetap ingin sedikit mengorek informasi penting dari pemuda ini.

"Kalau begitu, izinkan aku bercerita mengenai saat-saat kekuatanku bangkit," lanjut Brie, memasang tampang muram. "Singkat cerita, aku menjalin hubungan dengan anak dari anggota salah satu kelompok gangster di US. Entah bagaimana awalnya, aku yang sedang liburan dengan pacarku itu terjebak baku tembak dengan kelompok musuh. Waktu itu... Yah..."

Brie menghentikan kata-katanya dan menghela napas, berakting agar kebohongannya meyakinkan.

"Apa waktu itu Mbak merasa sudah akan mati?"

Brie langsung menautkan alis. Sepertinya ia dan Mail mempunyai opini yang sama mengenai pemicu bangkitnya kekuatan aneh ini. "Benar sekali, kekuatan itu bangkit saat aku ditodong pistol. Aku jadi mengamuk dan tidak bisa mengendalikan diri, tapi waktu sudah selesai, aku bisa melihat.... Bukan cuma melihat, tapi juga merasakannya..."

Dengan tangan terkepal erat, Brie berusaha mengenyahkan sensasi didatangi emosi-emosi milik orang lain yang kembali muncul di hatinya. "Aku bisa merasakan kalau aku baru saja membantai banyak orang. Aku tahu itu bukan karena kemauanku... Tapi..."

Merasa matanya mulai panas, Brie menghentikan ucapannya. Lagi-lagi ia tak mengerti. Dulu, mencabut nyawa orang lain hanyalah masalah sepele baginya. Tapi sekarang—ketika mengenang kejadian itu—ia sendiri tak yakin apakah tangannya bisa membunuh lagi.

Suasana hening. Atmosfer berat menekan ketiganya. Keadaan terus seperti itu sampai beberapa menit, sebelum akhirnya Mail angkat bicara, "Aku juga seperti itu. Waktu masih kecil, aku sama orangtuaku naik pesawat. Sialnya, pesawat kami itu dibajak teroris. Mereka semua bawa senjata api. Mereka juga membunuh siapa pun yang ngelawan. Waktu itu, aku merengek ingin buang air kecil."

Mail memejamkan matanya, berusaha menguatkan diri. "Gara-gara terus merengek, aku jadi ditodong sama salah satu dari mereka."

"Apa kamu satu-satunya anak yang selamat dari pembajakan di awal tahun 2000 itu?" tanya Brie, sedikit terkejut.

Pertanyaan itu dijawab Mail dengan anggukan kaku.

Brie ingat, dulu dirinya pernah membaca berita mengenai pembajakan pesawat di salah satu negara Asia Tenggara. Pembajakan itu tergolong aneh. Hampir semua orang di dalam pesawat mati karena benda-benda tumpul, termasuk kelompok pembajak yang membawa senjata api. Kasus ini masih menjadi misteri sampai sekarang.

"Cuma aku sama Om Deny yang selamat," tambah Mail dengan nada pedih.

Mulut Brie yang sudah membuka untuk bertanya lebih lanjut, kini menutup lagi. Ia menyadari hal yang begitu mengerikan. Lebih mengerikan daripada pengalamannya membantai kelompok kartel kokain.

"Seperti yang Mbak..." Napas Mail terhenti sejenak. "Sama seperti kamu, Brie. Waktu melakukan pembunuhan itu, aku ndak bisa mengendalikan diriku sendiri, tapi waktu sadar... Waktu sadar, aku ingat udah ngebunuh..."

Mail memejamkan matanya lagi, kali ini lebih erat, jelas sekali sedang menahan tangis. Brie terdiam, ada dorongan dalam hatinya untuk menepuk bahu Mail demi memberi sedikit dukungan. Namun, ia menahannya mati-matian, menganggap perbuatan seperti itu bukan bagian dirinya.

"Makanya, sebenarnya aku takut sama kekuatanku ini. Bagaimana kalau waktu make kekuatan ini, aku ngamuk terus ngebunuh orang lagi? Aku tahu rasanya kehilangan orang-orang yang paling aku sayangi. Aku ndak mau orang lain ngerasain apa yang aku rasain. Aku ndak mau jadi penyebab orang lain kehilangan siapa pun yang mereka sayangi." Mail mengusap cairan bening yang nyaris jatuh dari ujung matanya. "Aah... Aku ndak tahu kenapa aku bisa cerita semuanya sekarang."

Brie yang merasa tak punya orang terdekat tentu tak bisa memahami perkataan Mail itu. Bahkan Steph yang membesarkannya pun masih seperti orang lain bagi Brie.

"Jadi, saat ini aku ndak tahu apa aku ini bisa bertarung seperti kamu, Brie," imbuh Mail sambil tertawa getir.

Tiba-tiba Revan menghentikan mobilnya. Mereka bertiga langsung sedikit tersentak ke depan. Dengan wajah tegang, Revan memandang Mail yang melongo kebingungan.

"Kita tunda sebentar perjalanan ke rumah anak selanjutnya. Ada yang mau aku kasih lihat ke kalian," tutur Revan lantas melajukan mobilnya kembali.


Maaf, karena satu dan lain hal kemarin nggak bisa update, hari ini Penulis akan post 2 chapter. Setelah ini masih ada chapter lagi.


Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang