#41 Date

745 53 0
                                    

Malang, Jawa Timur, Indonesia.

Malam itu, sekelompok polisi berpakaian hitam-hitam, berompi khusus, serta mengenakan helm memasuki sebuah gedung bioskop. Dengan langkah rapi, mereka melewati ruang pegawai yang kosong, berkali-kali menodongkan senjata laras panjang masing-masing ke berbagai arah.

Begitu keluar dari ruangan itu, mereka menyusuri sebuah lorong yang kanan kirinya dipasangi poster berbingkai alumunium, sesekali menghindari mayat orang-orang yang berlumur darah. Kemudian, mereka berhenti di dekat sebuah pintu, saling menempelkan punggung ke tembok.

Salah satu anggota regu memegang gagang pintu itu. Begitu mendapat anggukan dari sang pemimpin yang berhadapan dengannya, ia menarik pintu itu untuk terbuka.

Saat masuk, mereka langsung menemukan orang-orang yang diikat di dekat layar bioskop. Orang-orang itu cuma bisa menggeram karena mulutnya ditutup lakban. Wajah mereka menunjukkan ketakutan tak terperi.

Tak segera membebaskan mereka, regu khusus itu kembali memeriksa keadaan.

"Dari atas!" teriak salah satu anggota yang mengarahkan senapannya ke tribun penonton. Ia melihat kelebatan sosok yang berlari dan melompati kursi-kursi. Namun, ia dan rekan-rekannya tak bisa menembak karena beberapa kursi masih ditempati orang-orang yang terikat.

Saat sosok yang ternyata wanita berpakaian putih itu sudah cukup dekat, beberapa anggota mulai menarik pelatuknya.

Crass!!!

Terlambat, seorang anggota terdepan langsung tumbang saat lehernya disayat wanita itu. Sambil terus melancarkan tembakan, anggota yang lain menjauh.

Sayangnya, mereka tetap kalah cepat. Wanita itu berhasil menghindari hujan peluru dan segera mengait dada salah satu anggota dengan sabitnya. Tanpa ampun, ia menyapu kaki anggota itu keras-keras. Si anggota rubuh ke belakang, tak bisa berbuat apa pun saat sabit si wanita menusuk mukanya.

Terserempet peluru di pipi dan lengannya, wanita itu menjauh meski tak terluka sama sekali. Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Ia kembali maju untuk menyerang para anggota regu.

"Mundur! Mundur!!!" pekik sang pemimpin. Sambil melompati kursi demi kursi di tribun, ia dan anggotanya terus melancarkan tembakan.

Kembali menghindari tembakan, wanita itu melompat tinggi sambil mengangkat sebelah tumit.

"Argggghhhh!!!" Salah satu anggota berteriak kesakitan saat sabit di tumit wanita itu menusuk bahunya. Ia pun jatuh terduduk di salah satu kursi. Akan tetapi, ia tak langsung menyerah. Tangannya—walau gemetar—mengarahkan senapan ke dada wanita itu.

Masih saja terlambat, wanita itu keburu menjejak dada si anggota, melepaskan sabit, dan bersalto ke belakang. Kemudian, dengan gerakan gesit si wanita menarik anggota itu. Si anggota tak mampu melawan ketika si wanita memelintir tangannya ke belakang. Ia cuma bisa melirik ke salah satu sabit si wanita yang mulai menekan lehernya.

"Jadi, kalian mau bermain juga?" tanya wanita bernama Sekar itu, menebarkan senyum lebarnya.

Melihat para anggota polisi terbaik itu seolah tak terpengaruh dan fokus menghunuskan senjata ke arahnya, Sekar menggemakan tawanya di ruang bioskop yang remang itu.

***

"...satu-satunya anggota pasukan khusus yang selamat dari bioskop itu membawa pesan dari si penyandera. Si penyandera menginginkan seorang wanita yang disebutnya sebagai 'si pedang emas.'. Diduga wanita yang dimaksud si penyandera adalah orang yang berhubungan dengan kejadian di salah satu panti asuihan di kota..."

Mendengar berita itu melalui earphone, Brie menggeram di balik helm full face yang menutupi kepalanya. Ia sudah menarik dalam-dalam gas motor sport hitam yang dinaikinya ini, menyalip berbagai kendaraan dan melewati lampu merah juga sudah dilakukannya, tetapi ia masih saja merasa sangat lamban.

Melakukan pembantaian-pembantaian di satu kota, kemudian melaksanakan penyanderaan di kota lain yang jaraknya lebih dari tiga jam dari kota sebelumnya. Brie menduga kalau Sekar ingin mempermainkan hatinya. Tak mau musuh bebuyutannya itu berhasil, Brie berusaha keras untuk meredam perasaan membara di dadanya.

Brie menekan rem kuat-kuat saat sampai di dekat kerumunan orang-orang yang menutupi jalan. Beberapa lelaki langsung mengalihkan perhatian, mengamati lekuk tubuh Brie yang dibalut pakaian hitam-hitam super ketat. Sudah terlalu maklum dengan hal seperti itu, Brie turun tanpa menghiraukan mereka.

Brie menanggalkan helm, memperlihatkan wajahnya yang ditutupi slayer hitam di bagian mulut. Sehabis melepaskan earphone dari telinga, ia mengaktifkan kekuatannya. Daripada repot-repot menyelinap di antara orang-orang dan menghindari polisi, ia memilih untuk mengumumkan kedatangannya. Toh, polisi sudah menyebarkan permintaan Sekar.

Melihat pola-pola emas muncul di wajah Brie, orang-orang membelalak. Mereka langsung menginfokan kejadian aneh itu ke orang lain di dekatnya

"Apa itu orang yang diminta polisi untuk datang?" bisik salah seorang dari mereka.

"Bukan Kapten Jamrud, ya?"

"Bodo! Baju sama jenis kelaminnya aja beda!"

Dengungan suara-suara manusia yang keheranan makin terdengar jelas. Brie mulai melangkah maju. Dengan pedangnya, gadis itu memberi isyarat agar orang-orang memberinya jalan. Mereka pun menurut dan mulai membuka ruang.

Mantap dan anggun, Brie mendekati seorang polisi pria yang menjaga pembatas jalan. Sang polisi tampak terkejut, tapi tetap terlihat waspada.

"Stop di situ." Sang polisi memberi isyarat dengan tangannya.

Brie berhenti, tangannya menunjuk gedung bioskop yang jaraknya masih cukup jauh dari tempatnya berada. "Permisi Pak polisi, saya ingin memasuki gedung bioskop itu. Saya ada kencan di sana."

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang