#20 Love

815 57 0
                                    

Mendengar ketukan dari pintu kamar, Brie yang berbaring di dipan membuka matanya. Suasana masih cukup gelap dan hanya ada sedikit sekali cahaya yang masuk lewat ventilasi. Ia menyingkap selimut lalu melongok ke bawah, mendapati Revan masih berbaring di karpet, sementara Mail sudah berdiri untuk membuka pintu.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Mail kepada Arga yang barusan mengetuk pintu.

Arga melongok ke dalam kamar sambil berkata datar, "Ada yang ingin saya bicarakan. Ini mengenai keberangkatan Mas sama Mbaknya."

Sambil menguap, Brie turun dari dipan, kemudian menepuk-nepuk pundak Revan. Tak kunjung mendapat respon, gadis itu pun menghampiri Arga.

"Dia masih belum bisa bangun, Pak. Biar kami berdua saja yang mendengarkan," ucap Brie, menutupi mulutnya untuk menguap kembali

"Ah..." Arga sedikit tersenyum. "Maaf, tapi saya ingin kalian semua ikut."

Brie langsung sadar ada yang tidak beres dengan perkataan Arga. Namun, karena masih belum bisa menebak pria itu, Brie akhirnya mengiyakan, berniat untuk mengamati keadaan terlebih dahulu.

Revan akhirnya bangun setelah pahanya ditendang Brie dengan cukup keras. Pemuda itu sudah akan memprotes, tapi segera mengurungkan niatnya begitu melihat Arga.

"Ikuti saya," pinta Arga, mulai melangkah pergi.

Mereka bertiga berjalan mengikuti sang tuan rumah. Awalnya Brie mengira mereka akan berbicara di ruang tamu. Akan tetapi, saat Arga terus melangkah sampai ke luar, Brie langsung meningkatkan kewaspadaannya.

"Hati-hati," bisik Brie kepada Mail dan Revan. Gadis itu memilih untuk mengamati lebih jauh sebelum mengambil tindakan.

Saat keluar, Brie sedikit mengutuk dirinya yang hanya memakai baju minim. Begitu menerjang embun tebal pagi itu, area kulitnya yang terbuka jadi diserang dingin menusuk. Ia pun menggigil.

"Maaf," gumam Arga, menghentikan langkahnya di pinggir jalan.

"Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya Brie, semakin curiga.

Tak menjawab, Arga hanya menunjuk mobil putih yang terparkir di seberang jalan. Perhatian Brie, Mail, dan Revan langsung tertumbuk ke kendaraan yang kemarin tidak ada di sana itu.

Begitu pintu depan mobil itu terbuka, Revan dan Brie langsung menahan napas. Mulut keduanya menganga hampir bersamaan. Seorang gadis turun dari mobil itu, berkulit kuning langsat, berambut hitam ikal, dan memiliki muka berbentuk hati.

"Gisel?" tanya Revan kepada gadis yang memakai baju terusan celana panjang berwarna merah itu.

"Gisel? Gisel istrinya Mas Revan itu?" Mail mengerutkan kening. Ia tahu siapa Gisel dari cerita Brie mengenai tragedi pernikahan Revan.

"Mataku yang salah atau aku memang melihat dia memakai baju aneh dengan ventilasi di pinggang?" racau Brie, mengamati pinggang Gisel yang memang terbuka. "Damn, selera fashion-nya buruk sekali."

Gisel tersenyum, berjalan beberapa langkah ke depan, kemudian merentangkan kedua tangannya, memberi gestur untuk menyambut pelukan. Revan pun maju selangkah, tapi Brie langsung menahan pundaknya.

"Jangan, Rev!" pekik Brie yang instingnya mulai meneriakkan keadaan bahaya.

Revan tak peduli. Ia menampik tangan Brie dan berlari menyambut istrinya itu.

"Bersiaplah," bisik Brie kepada Mail, yang langsung memasang kuda-kuda.

"Ada apa ini?" tanya Wilis yang baru keluar bersama Tiara. Mereka tampak begitu kebingungan.

"Gisel!" Revan mendekap erat kekasihnya itu. Air matanya tumpah seketika. "Kamu kemana aja, Gisel!?"

Gisel balas memeluk tubuh Revan dengan lembut. "Tenang aja, Revan. Aku akan tetap ada di sini, kok."

Bahkan suara gadis itu sama persis dengan suara Gisel yang dulu.

Brie mendekati Arga dengan muka menegang. "Sebenarnya apa yang terjadi? Apa Bapak tahu semua ini?"

"Sebenarnya sebelum kalian datang ke sini, saya ditelepon oleh pengikut Sekar. Saya diminta untuk menahan kalian agar tidak pergi sebelum ritual itu selesai," jawab Arga, kali ini bibirnya bergetar.

"Ritual? Ritual apa lagi, Pak?" tanya Brie, terus mengawasi Gisel, bersiap-siap untuk merebut Revan. Ia harus menunggu saat yang tepat. Kalau gegabah dan dugaannya benar, Revan bisa terluka atau bahkan dihabisi.

Gisel membalas tatapan Brie dengan senyuman samar.

Arga menunduk lesu. "Ritual untuk membangkitkan..."

Crasss!!!

Brie melihat kelebatan-kelebatan dan tahu-tahu empat sulur merah sudah menusuk tubuh Arga dari belakang. Wilis dan Tiara langsung berteriak-teriak histeris. Revan yang terkejut karena hal itu sudah akan melepaskan diri untuk memeriksa keadaan di belakangnya. Namun, Gisel yang tubuhnya sudah dihiasi pola-pola merah malah mengencangkan pelukannya.

Belum sempat Brie melakukan sesuatu, sulur-sulur yang entah sejak kapan keluar dari pinggang Gisel itu menarik tubuh Arga. Pria itu tak bisa melawan saat dirinya diangkat tinggi di atas kepala Gisel.

Melihat Gisel memberi isyarat jari agar jangan ada yang mendekat, Brie dan Mail—walau sudah mengaktifkan kekuatannya—cuma bisa mematung di tempatnya.

"Bu Wilis sama Mbak Tiara masuk aja!" perintah Mail.

Wilis yang sudah bercucuran air mata berusaha menarik anak sulungnya untuk masuk. Namun, Tiara terus berontak demi mendekati ayahnya.

"Ugh! Gisel, pelukanmu kencang sekali, aku jadi nggak bisa bernapas..." Kalimat Revan terpotong oleh satu tetes cairan kental yang jatuh ke pipinya. Heran, ia mencolek cairan itu dan memeriksanya. Warnanya merah, itu darah segar.

Perlahan, Gisel melepaskan pelukannya dan mendongak. Revan langsung terlongong-longong saat mendapati pola di tubuh Gisel. Kemudian, pemuda itu ikut mendongak.

"Ka... Kalian sudah berjanji tidak akan mengganggu keluargaku kalau aku menyerahkan anak-anak ini," racau Arga dengan suara tak jelas.

"Eeh? Yang kudengar, Sekar berjanji untuk tidak membunuh Tiara," gumam Gisel santai, tak memedulikan tetesan-tetesan darah Arga yang deras menghujani wajahnya.

Revan jatuh terduduk. Aliran darah di wajahnya seolah berhenti total. Pita suaranya seakan mati.

"Kok tanggapan kamu kayak gitu, sih?" Kini Gisel memandang Revan dengan ekspresi muram. Ia lalu mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan cincin kawin yang masih melingkar di jari manisnya. "Aku kan istrimu. Kamu pernah bilang kalau kamu akan selalu mendukung apa pun yang akan aku lakukan, kan?"

Tak kunjung mendapat jawaban, Gisel mengayunkan sulurnya, membuat tubuh Arga menukik ke bawah.

Krakkk!!!

Tepat ketika kepala Arga menghantam aspal, suara tengkorak yang hancur dipadu bunyi patahnya tulang leher menggema keras. Tiara langsung berlutut tanpa suara, sedangkan Wilis tumbang tak sadarkan diri.

Tanpa mengubah posisi atau ekspresinya sama sekali, Revan memperhatikan mayat Arga.

Tahu kehidupan keluarga bahagia itu tak akan sama lagi, dada Brie seperti dipenuhi kobaran menyakitkan.

Mail menunduk dengan napas liar untuk beberapa saat, kemudian menerjang maju dengan perisainya.

"Mail! Tunggu!" Sadar Revan masih ada di dekat Gisel, Brie berusaha mencegah Mail. Sayangnya, gadis itu sudah terlambat.


Ups.

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang