#22 Pleasure

786 54 20
                                        

Sekar mendorong Pratista yang telanjang agar memasuki kerangkeng. Mendapat sedikit perlawanan, tanpa ampun Sekar menendang perut wanita malang itu. Terpaksa masuk, Pratista terbatuk-batuk dan memegangi perutnya, hanya bisa pasrah saat Sekar menggembok kerangkeng itu.

"Apa yang kamu lakukan padanya?" tanya Gisel yang baru memasuki ruangan tempat Sekar berada. Tanpa minat, Gisel mengamati Pratista yang menggigil dan bergelung menggunakan selimut.

"Aku baru saja memandikannya," jawab Sekar riang, memasukkan kunci kerangkeng ke saku celana.

Gisel langsung teringat dengan bongkahan-bongkahan es batu yang tadi dipesan Sekar. "Aku heran, kalau melihat sifatmu, seharusnya dia sudah mati kebanyakan disiksa."

"Aku menjaganya tetap hidup dengan kekuatan penyembuhku," jawab Sekar, menyentuh pundak Pratista dan mulai mengalirkan kekuatannya. "Ngomong-ngomong, bagaimana lukamu?"

"Tubuh ini ringkih sekali. Bergerak sedikit saja, lukanya tak akan bisa sembuh walaupun sudah fokus," gerutu Gisel sebal, berjalan mendekati Tiara yang terikat di sebuah kursi di sudut ruangan. "Kapan kamu mau membangkitkan teman-teman kita yang lain?"

Sekar berdecak kesal, menjauhkan tangannya dari Pratista lantas menghadap Gisel sambil bersedekap. "Kan sudah kubilang, aku ingin berburu tubuh-tubuh itu dulu. Setelah kukumpulkan semua, aku baru akan mendatangkan mereka ke sini."

"Yah, bukannya aku tak setuju, sih. Waktu datang ke suatu dunia, kita selalu berperang untuk mencari satu pemenang. Lama-lama aku bosan, aku ingin sesuatu yang lain." Gisel menarik rambut Tiara keras-keras.

Tiara yang sejak tadi gemetar terpaksa mendongak. Mulutnya yang dilakban cuma bisa bergumam tak jelas. Melihat pancaran kengerian dari mata gadis itu, Gisel tersenyum.

Mendengar suara ketukan, Gisel membuka pintu, membiarkan Martin dan seorang pemuda untuk masuk. Martin menaruh benda-benda yang dibawanya ke meja di dekat kursi Tiara: laptop, selotip tebal, headset, serta gadget yang berbentuk seperti kacamata super besar.

"Ini apa?" tanya Sekar sambil menunjuk gadget yang bagian dalamnya dipasangi layar itu.

"Ini namanya gadget VR*, alat yang bisa menyimulasikan sebuah lingkungan ke indra penglihatan. Aku tahu dari memori di tubuh ini. Dia pernah mencobanya," jawab Gisel sambil mengutak-atik laptop. "Pesanan saya sudah dibuat kan, Martin?"

"Iya, Nona Gisel," jawab Martin dengan bibir bergetar.

"Baiklah, kamu boleh keluar."

Martin beranjak keluar. Saat pemuda yang tadi mendampinginya akan membuntut, Gisel segera mencegah, "Hei, kamu mau ke mana?"

Si pemuda berambut pendek itu berhenti dengan muka kebingungan. Martin mengangguk kepadanya dan pergi keluar sendirian. Salah tingkah, si pemuda cuma bisa mematung dengan kepala menunduk.

Sekar mendekati pemuda itu, mengamatinya dari atas ke bawah. "Kamu akan melakukan apa padanya?"

"Yang jelas bukan penyiksaan seperti yang biasa kamu lakukan," jawab Gisel seraya mendekatkan kedua telapak tangannya ke telinga Tiara.

Beberapa menit berlalu, Tiara membeku dengan mata membelalak. Sekar yang mulai jengah melempar dirinya ke kasur sambil mengamati gerak-gerik Gisel. Gisel tersenyum lantas menjentikkan jarinya ke kedua telinga Tiara.

Tiara menahan napasnya. Gemetaran di tubuhnya semakin hebat.

"Bagaimana rasanya mendengar suara pertama kali?" tanya Gisel.

Sekar cuma melongo dengan alis bertaut, benar-benar tak mengerti tujuan rekannya itu.

Gisel mulai memasangkan selotip ke kedua kelopak mata Tiara. Sadar matanya dipaksa terbuka, Tiara berontak.

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang