Sambil duduk di kursi belakang mobil yang melaju, Sekar menempelkan ponselnya yang baru berdering ke telinga. "Halo?"
"Halo, Nona? Mobil Brie berhenti di terminal, Non. Sepertinya dia dan temannya itu mau naik bus. Saya sedang mengikuti mereka," jawab seorang pria di ujung sana.
"Bagus, kamu ikut mereka naik ke bus. Handphone-mu bisa dilacak, kan? Nanti aku menyusul," balas Sekar.
"Baik, Non. Sudah dulu ya Non, mereka sedang naik."
Sedikit tersenyum, Sekar menurunkan ponselnya. "Hmmm... Aku agak kecewa dengannya. Bisa-bisanya dia tidak tahu aku memasang alat pelacak di mobil itu?"
"Justru malah semakin gampang kalau dia lengah, kan?" Pemuda yang duduk di samping Sekar menimpali dengan tak bersemangat.
"Ah, kamu merusak suasana!" gerutu Sekar.
Pemuda berkulit sawo matang itu membuang muka. Sama seperti saat melawan Sekar dulu, sebagian rambutnya masih saja dicat pirang.
"Kalau kau tidak membiarkan tubuhku mati, aku bisa membuat semua ini jadi lebih menarik," ucap si Merah yang dulu merasuki tubuh Gisel. "Kalau saja tubuh itu bisa dirasuki untuk kedua kalinya..."
"Sudah berapa kali kamu mengatakan hal seperti itu?" potong Sekar sengit, seolah berbicara dengan udara kosong. Dengan muka kesal, gadis itu mencondongkan kepalanya ke arah Martin yang tengah menyetir. "Martin, setel GPS-nya untuk melacak ponsel Erwin!"
"Ba... Baik, Non!" Sedikit bergidik, Martin mulai mengutak-ngatik GPS mobil.
***
"Beneran ndak apa-apa ninggalin mobil mas Revan di parkiran gitu aja?" tanya Mail yang tengah memasukkan tas berisi barang-barangnya ke rak atas bus.
"Tidak masalah," balas Brie yang sudah duduk di kursi. "Kamu kan tahu, aku sudah mengirimkan kuncinya ke Revan lewat jasa ekspedisi. Mobil itu sudah terlalu lama kita pakai, musuh kita pasti sudah tahu dan akan melacaknya."
Mail manggut-manggut dan duduk samping Brie. "Jadi, tujuan kita naik bus itu biar kita ndak kelihatan? Jadi low profile?"
"Begitulah." Dengan gerakan santai, Brie mulai mengamati suasana bus dari tempat duduknya di bagian tengah. Ia perlu memastikan kalau mereka tidak sedang diikuti.
Brie mengernyitkan dahi. Matanya menemukan seorang pria berkacamata hitam di kursi paling belakang. Bukan penampilan pria itu yang membuatnya curiga. Hanya saja, ia merasa pria itu baru saja membuang muka saat bertatapan dengannya.
Ketika bus yang ditumpanginya itu mulai melaju, Brie menyandarkan tubuhnya. Otaknya mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Benarkan orang itu tengah mengikuti dirinya dan Mail? Kalau iya, sejak kapan? Brie merasa tidak dibuntuti waktu mengendarai mobil.
Mendadak, Brie merasa dadanya seperti diremas keras-keras. Ia ingat, selama mengendarai mobil tadi, otaknya terus memikirkan berbagai hal. Bisa jadi gara-gara itu perhatiannya ke keadaan sekitar berkurang. Selain itu, Sekar mungkin telah memasang alat pelacak ke mobil Revan waktu menculik Pratista dua hari lalu.
Brie mengutuk dirinya sendiri. Seperti kata Steph kemarin, ia jadi lengah.
Haruskah dirinya mengkonfrontasi orang itu? Bagaimana kalau ternyata orang itu juga punya kekuatan seperti dirinya? Bisa-bisa para penumpang bus dalam bahaya.
Ya, ia harus berpikir jernih. Mulai dari perasaan bersalahnya karena tak bisa menyelamatkan orang-orang, sampai rasa herannya kepada Steph yang tiba-tiba mendatanginya kemarin, semua itu—ditambah dengan banyak pemikiran lain—berusaha ia singkirkan untuk sementara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasyNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...