#19 Purpose

834 55 0
                                    

"Astaga!" Mail yang tengah menduduki dipan di kamar pinjaman rumah Arga langsung membuang muka saat Brie masuk.

Brie yang baru selesai mandi dan cuma membelit tubuhnya dengan handuk kecil pun terkikik geli. Gadis itu segera melepaskan handuknya, bermaksud untuk berbusana.

"Lebih baik aku keluar dulu." Mail berdiri dengan wajah masih menghadap ke arah lain.

"Di situ saja dulu. Aku sudah keburu telanjang."

Dengan muka yang memerah bak tomat, Mail kembali duduk.

"Kamu sudah boleh berbalik, kok," ujar Brie setelah selesai mengenakan celana dalam, hot pants, serta tank top putih.

Mail menurut, tapi sedetik kemudian ia membuang muka lagi. "A... Apa kamu ndak takut masuk angin?"

"What the heck is masuk angin?"

Setelah menengok sekilas, Mail menunjuk dada Brie. "Apa ndak kedinginan pakai baju tipis gitu?"

Brie mengamati tank topnya yang agak transparan. Karena dirinya tak memakai bra, bagian-bagian badannya jadi lumayan terlihat dari luar. "Dari kemarin aku merasa agak gerah, kok."

Meski mengatakan hal itu, Brie tetap melepaskan tank topnya lalu meraih bra dari tas. Karena sedang tidak mendekati pria yang akan dibunuh atau diinterogasi olehnya, Brie sama sekali tak punya niat untuk menggoda Mail.

"Kamu gay?" tanya Brie yang tengah memakai branya.

"Ndak, a... Aku straight!

Menemukan pria yang tak memandangi fisiknya dengan mesum, padahal kesempatan sangat luas seperti ini, Brie jadi merasa seperti diberi angin segar.

"Revan mana?"

"Lagi nelepon di luar," jawab Mail, semakin gugup.

"Oh." Begitu memakai tank topnya lagi, Brie menepuk pundak Mail. "Sudah."

Untuk kesekian kalinya, Mail menengok kepada Brie, hanya untuk memandang ke arah lain lagi.

"Kenapa lagi, sih?" tanya Brie, mulai jengkel. Dia merasa seperti benda yang begitu terlarang untuk dilihat.

"Sebaiknya aku keluar dulu." Lagi-lagi masih tak mau menatap Brie, Mail berdiri dari duduknya.

Tanpa basa-basi, Brie mengarahkan muka Ismail agar menghadap wajahnya. Sadar kalau mungkin bra yang menerawang dan celana super pendeknya tak sesuai budaya Mail, ia pun berkata, "Paling tidak, tatap wajahku dulu."

Sekarang seluruh darah Mail seolah dipompa ke mukanya. Berdecak kesal, Brie mengambil salah satu kemejanya dan mengenakannya di atas tank top, sama sekali tak berniat mengganti hot pants-nya. Cuaca memang lumayan panas.

"Tarik napas, oke?" pinta Brie kepada Mail yang masih saja berdiri kaku.

Mail menurut. Ia menghela napas, sementara Brie mulai berkutat dengan baju-baju kotor.

"Ah, iya Brie." Mail kembali duduk di dipan. "Gimana menurut kamu tentang kata-kata mas Revan di taman kota tadi?"

Brie langsung menghentikan aktivitasnya. "Yang mana?"

"Tentang kita yang punya keberanian dan kekuatan, jadi kita harus menggunakannya dengan baik."

"Memangnya dia berkata seperti itu, ya?" balas Brie penuh sarkasme.

"Yah, selama ini aku berpikir, sebenarnya buat apa aku punya kekuatan ini? Melihat kamu yang bertarung melawan Sekar, terus aku yang jadi bisa menolong mas Revan dan adik pantiku, aku merasa kalau... Kalau aku ini bisa melakukan sesuatu yang lebih, Brie."

Golden EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang