Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Brie yang baru bangun menyipitkan matanya, berusaha menghalau garis-garis sinar matahari yang masuk lewat ventilasi kamar kos. Setelah meregangkan tubuh sedikit, ia duduk di pinggiran dipan. Tangannya dengan lemas mengambil ponsel yang ditaruh di meja kecil dekat dipan. Ponselnya itu menunjukkan pukul 10.12 pagi, kurang lebih tujuh jam setelah ia kembali dari kegiatannya mencari petunjuk.
Menguap dan mengacak-acak rambutnya yang berantakan, ia melempar ponsel itu ke dipan, kemudian mengambil buku kecil dan pulpen yang juga ada di meja. Begitu membuka sebuah daftar di buku itu, ia mencoret nama di deret paling bawah.
Setelah mengamati nama-nama sebelumnya yang sudah dicoret semua, Brie membanting buku dan pulpen itu ke lantai. Perasaan tak berguna dan amarahnya makin menjadi-jadi. Sekarang, ia tak punya petunjuk apa-apa, padahal dirinya sudah begitu terobsesi untuk menemukan Sekar.
Ia tak tahu lagi.
Menghabiskan beberapa menit untuk menenangkan diri, Brie memakai jaket dari gantungan baju. Kemudian, ia mendatangi kamar mandi bersama di bagian belakang gedung kos sederhana itu. Sesudah menggosok gigi, mencuci muka sekedarnya, dan menyisir rambut, ia melangkah ke luar.
Baru berjalan beberapa jengkal, ia menemukan wanita dengan dandanan menor yang berdiri di depan salah satu pintu kamar kos. Wanita agak gemuk yang mengenakan pakaian ketat dan rok mini itu tampak kesulitan memasukkan kunci ke lubangnya.
Tanpa mengatakan apa pun, Brie membantu wanita itu membuka pintu.
"Makasih, Mbaaak..." Racau wanita itu, menguarkan semerbak alkohol dari mulutnya. Brie cuma mengangguk dan wanita itu pun masuk dengan sempoyongan.
Brie tersenyum kecut. Tak habis pikir dirinya baru saja membantu wanita itu.
***
Begitu keluar dari area tempat kos, Brie melangkah sejenak di jalanan yang sepi, sebelum akhirnya memasuki sebuah warung batagor kecil. Aroma hangat batagor yang tengah digoreng langsung menyambut hidungnya.
"Baru buka, Bu?" tanya Brie dengan nada santun.
"Iya, Mbak. Mau makan sini, sama ketupat, terus nggak pedes kan? Minumnya air putih?" timpal sang ibu penjual yang berbadan subur, tersenyum ramah kepada Brie. "Sebentar, ya."
Brie mengangguk dan balas tersenyum. Saat awal-awal datang ke tempat itu, Brie berlagak tak mengacuhkan sang ibu penjual. Namun, karena selalu disambut dengan kehangatan, hatinya jadi luluh. Hampir tanpa disadarinya, lama-lama ia balas bersikap ramah.
Ya, dirinya memang sudah berubah. Dulu, ia enggan berperilaku seperti itu kalau tak ada kepentingan khusus.
Menunggu pesanannya dibuat, Brie memilih untuk duduk di sudut terdalam warung. Tangannya langsung membuka ponsel dan mulai mencari-cari berita di jagat maya.
Seperti yang dialaminya akhir-akhir ini setiap membaca berita-berita utama, Brie merasa isi perutnya seolah dibetot keluar.
Pembantaian sadis terjadi lagi. Kali ini korbannya adalah para pekerja bangunan yang sedang lembur. Sama seperti sebelumnya, para korban juga mendapat luka sayatan...
Masyarakat resah. Pembantaian itu bisa terjadi siang atau malam...
Makin banyak anggota perkumpulan Pratista yang diperiksa. Kebanyakan mengaku sudah tak berhubungan dengan Sekar, pemimpin perkumpulan yang sekarang...
Apakah kita memerlukan superhero lagi?
Brie ingin sekali menggebrak meja. Hampir setiap hari, pembunuhan acak terjadi di kota itu. Parahnya lagi, polisi masih belum bisa menemukan petunjuk mengenai keberadaan pelakunya.
"Enjoying, brunch*?" Suara seorang wanita terdengar dari depan Brie.
Saat mendongak, Brie langsung mendapati Steph sudah duduk di hadapannya. Lagi-lagi merasakan sebal yang tak jelas sumbernya, Brie memilih berkutat dengan ponselnya lagi.
"Aku tahu kau mencari informasi dengan cara memukuli orang-orang. Aku bertanya-tanya, memangnya aku pernah mengajarkan cara seperti itu..."
"Apa yang kau inginkan, Steph?" potong Brie dengan bahasa inggris. Ia tak mungkin berkata kalau yang memicunya melakukan hal seperti itu adalah perbuatan gila Sekar. Kalau memakai cara berputar-putar, Brie tidak akan bisa mendapatkan lokasi Sekar dengan cepat. Korban yang jatuh pun akan semakin banyak.
Setelah membisu sambil mengamati Brie untuk beberapa saat, akhirnya Steph menjawab, "Membawamu pulang."
Brie tertawa kecil. "Memangnya aku punya rumah? Kalau yang kau maksud kembali ke salah satu tempat persembunyian, dengan segala hormat aku akan menolaknya."
Obrolan mereka terhenti saat ibu penjaga warung datang dengan pesanan Brie dan segelas teh hangat untuk Steph.
"Aku tak bisa membiarkanmu bertindak semaunya, Kid. Sudah ada klien yang menginginkan jasamu," lanjut Steph dengan nada sabar.
Sedikit mencibir, Brie menusuk potongan batagornya dengan garpu, meniupinya sebentar, baru kemudian memakannya. Ia mengingat-ingat mimpi di kamar masa kecilnya beberapa waktu lalu.
"Akhir-akhir ini aku berpikir, sebenarnya untuk apa aku menjadi pembunuh bayaran? Karena uang? Jujur, aku hampir tak pernah menikmati uang hasil kerjaku itu. Atau mungkin karena kau memerintahku untuk menjalani profesi itu? Memangnya kau siapa sampai aku harus menurutimu?"
"Aku yang membesarkan..." Steph menahan kata-katanya dan tersenyum getir. "Oh, jadi kau mau keluar dari pekerjaan ini? Apa kau tahu risikonya, Kid?"
Jempol Brie menekan gagang garpu sampai melengkung. Tenaganya sekarang memang di atas manusia biasa, tapi tetap tak sebanding bila kekuatan emasnya aktif. "Berapapun orang yang kau suruh untuk menghabisiku, aku tidak takut, Steph. Bawa mereka ke sini."
Brie mencondongkan wajahnya ke arah Steph. Pandangannya menusuk tajam mata mentornya itu. Tekadnya sudah begitu bulat.
"Boleh aku tahu alasanmu?" tanya Steph dengan nada sinis.
Bukannya menimpali, Brie malah membuang muka. Tentu saja ia tahu jawaban dari pertanyaan itu. Akan tetapi, ia tak sanggup menyampaikannya dengan kalimat yang baik. Selain itu, hatinya juga tak yakin kalau Steph akan mengerti semua ini. Steph sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam dunia gelap pembunuhan. Bagi sang mentor, nyawa orang lain sama sekali tak ada harganya.
Cukup lama tak mendapat jawaban, Steph menghela napas. "Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"
"Bukan urusanmu."
"Apakah kau ingin membunuh anak nyai Pratista itu? Untuk apa?"
"Sudah kubilang, bukan urusanmu," balas Brie dengan nada meninggi. Ia bangkit dari kursi, berniat untuk meninggalkan tempat itu. Nafsu makannya sudah lenyap.
Steph menangkap tangan sang anak didik. Brie yang sedikit terkejut refleks menghentikan langkahnya.
"Aku tahu sejak pertemuan terakhir kita di rumah sakit, kau sudah mulai jatuh cinta kepada pria itu," ucap Steph dengan suara datar. "Saranku adalah... Kalau kau ingin membalaskan dendam pria itu, lupakan saja. Apalagi kalau sampai ingin bertindak seperti pahlawan. Itu adalah perbuatan yang bodoh. Sama sekali tidak ada untungnya buatmu."
Brie menepis tangan Steph untuk melanjutkan langkahnya.
"Baiklah, paling tidak kalau kau mau melakukan hal ini, ingat apa yang selalu kuajarkan. Jangan biarkan dirimu terbawa emosi, kelengahan bisa membunuhmu," tambah Steph cepat.
Brie berhenti lagi untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menghampiri ibu penjaga warung. Setelah membayar makanannya, ia berjalan menuju kamar kosnya kembali. Dalam langkahnya itu, ia terus menahan tangis.
Steph tak akan pernah mengerti.
*Brunch: Singkatan dari breakfast (sarapan) dan lunch (makan siang). Istilah ini digunakan untuk merujuk waktu menyantap hidangan di luar waktu makan antara sarapan dan makan siang.
![](https://img.wattpad.com/cover/123693476-288-k115142.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantezieNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...