Untuk kesekian kalinya, tubuh Brie terpental karena sabetan dari sulur Gisel. Tak menyerah, Brie langsung bangkit dan maju lagi. Sabetan lain pun datang, tapi ia berhasil menghindar. Sayangnya, dua sulur lain menjerat kakinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa saat tubuhnya dihantamkan ke tembok.
Tanpa memedulikan nyeri-nyeri di tubuhnya, Brie kembali berdiri. Namun, sekuat apa pun berusaha, ia masih saja tak bisa mendekat. Senyuman di mulut Gisel pun semakin melebar dibuatnya.
Brie berlutut dengan napas liar. Waktu sudah cukup lama berlalu. Ia tahu bahwa hal buruk kemungkinan besar telah terjadi. Akan tetapi, ia tak rela usahanya ini berakhir sia-sia. Maka dari itu, ia kembali bangkit dan berniat menyerang lagi.
Tepat saat Brie baru membuat langkah pertama, Gisel mengangkat sulurnya yang tergantung di pagar loteng. Sendi-sendi Brie seolah langsung membeku seketika. Matanya yang sudah panas karena lelehan cairan bening, sekarang seperti akan terbakar saat melihat Tiara yang masih dijerat sulur itu. Kaki dan tangan Tiara kini terkulai lemas. Matanya masih sedikit terbuka, tapi sama sekali tak memancarkan cahaya kehidupan.
"Arghhhh!!!" Dengan perasaan hancur, Brie maju untuk kesekian kalinya. Namun percuma, Gisel terus saja menghalanginya untuk mendekat. Ditambah dengan gerakannya yang makin tidak terarah, Brie hanya bisa terhempas terus-menerus.
"Kalau si Perak mungkin sekarang sudah membunuhmu. Tapi aku berbeda, ekspresi di wajahmu itu membuatku bergairah. Aku akan terus menikmatinya selagi bisa," kata Gisel, melepaskan Tiara begitu saja, membiarkannya jatuh ke bawah.
Brie yang kini berlutut di lantai cuma menunduk diam. Seperti kata Pratista, makhluk yang ada di dalam tubuh gadis-gadis itu cuma ingin main-main. Ya, main-main, bersenang-senang seperti orang pada umumnya. Yang berbeda cuma caranya. Cara yang kejam.
Brie tak rela mereka bersenang-senang dengan cara seperti itu. Ia tak akan sudi memberikan apa yang Gisel mau. Maka dari itu, kali ini Brie memilih untuk mengangkat mukanya, memaksakan senyuman tipis di bibirnya.
Melihat hal itu, Gisel menurunkan kedua ujung bibirnya.
"Apa kamu tahu aku ini dulunya pembunuh bayaran?" racau Brie, berdiri sambil menggenggam tas ranselnya yang sejak tadi tergeletak. "Satu nyawa hilang seharusnya tidak akan menggangguku."
"Kamu cuma berpura-pura," balas Gisel sinis.
Tak masalah kalau Gisel tahu akting Brie. Perhatian si gadis gila sudah teralih ke wajah Brie. Brie jadi punya kesempatan merogoh tasnya.
Prang!!! Prang!!! Pranggg!!!
Begitu Brie melemparkan tiga bom Molotov yang tersisa, Gisel mengangkat sulur-sulurnya untuk menangkis. Dua bom hancur karena sulur-sulur itu. Hanya ada satu yang berhasil lolos, menghantam telak kepala Gisel dan pecah. Bensin pun langsung membasahi dada dan muka gadis itu.
Melihat Gisel yang kesulitan membuka mata karena bensin, Brie melemparkan pemantik api yang menyala. Dalam waktu singkat, api yang menguarkan asap luar biasa pekat langsung menjalari sulur, dada, serta kepala Gisel, membuatnya meronta-ronta kesakitan. Tanpa ampun, Brie berlari maju lalu melancarkan tendangan berputar ke dada sang musuh.
Tubuh Gisel terjungkal dan jatuh, tapi salah sulurnya berhasil melilit pagar loteng. Brie segera menhantamkan pedangnya ke bagian yang dililit itu. Sulur Gisel langsung terlepas begitu bagian itu hancur.
Mendengar bunyi debam, Brie melongok ke bawah. Dengan tubuh terus menguarkan asap, Gisel berguling-guling liar di tanah. Beberapa menit kemudian, api di tubuh serta sulurnya berhasil padam. Ia pun bangkit, berjalan terpincang-pincang sambil menutupi muka dan dadanya yang kini gosong.
Menggigit bibir karena ketangguhan gila gadis itu, Brie naik ke pagar loteng untuk bersiap.
"Ka... Kamu membunuh Gisel."
Mendengar suara Revan, Brie menengok ke belakang. Pemuda itu berdiri di dekat pintu masuk, memandangi Brie dengan mata membelalak.
"Belum," gumam Brie, menengok ke arah Gisel lagi.
Gadis gila itu kini bersandar di sebuah pohon, jaraknya lumayan jauh dari loteng.
"Kamu membunuhnya!" bentak Revan penuh amarah.
Berusaha tak memedulikan pemuda itu, Brie mengira-ngira apakah lompatannya akan sampai ke tempat Gisel. Beberapa detik setelahnya,—meski belum yakin—ia turun dari pagar dan mundur beberapa langkah.
Bahkan Brie sendiri menganggap rencana di otaknya ini tidak masuk akal. Kemungkinan melesetnya sangatlah besar. Namun, ia tak sanggup menemukan ide lain yang lebih baik. Saat ini, ia yakin musuhnya itu sedang menyembuhkan diri.
Sambil menangis sejadi-jadinya, Revan melesat untuk mendatangi sang kekasih.
Brie berlari sekencang-kencangnya, menjejakkan sebelah kaki ke pagar loteng lalu memberikan tolakan keras ke kakinya itu. Melayang tinggi di udara, Brie bersiap untuk melancarkan tusukan.
Gisel masih bersandar di pohon. Sebagian wajah dan dadanya mulai terlihat sembuh.
Crasss!!!
"Arghhhh!!!" teriak Brie saat pedangnya menusuk dalam-dalam dada Gisel. Sekujur tangannya yang berpedang seperti akan putus dan kedua kakinya yang digunakan untuk mendarat seperti baru saja diremukkan.
Kedua tangan Gisel terkulai. Darah segar memuncrat-muncrat dari dadanya.
Seperti sebelum-sebelumnya, pemandangan di mata Brie kini berganti total. Namun, kali ini kenangan yang masuk bukanlah milik Gisel. Ledakan-ledakan yang menghancurkan sekumpulan gedung, gunungan mayat-mayat makhluk yang tak pernah dilihat Brie, bagian-bagian tubuh dan organ yang bergeletakan, genangan darah yang begitu banyak sampai terlihat seperti danau merah, serta kepala-kepala tanpa tubuh yang meronta, hal-hal seperti itulah yang dilihat Brie.
"Haaah!!!" Begitu penglihatannya kembali normal, Brie terbungkuk-bungkuk. Dadanya kesulitan menghirup oksigen. Semua yang baru dilihatnya benar-benar tak normal, terlalu mengerikan untuk seorang manusia seperti dirinya.
Brie memperhatikan tangan kanannya yang kini bergetar tak terkendali. Ia lalu melihat Gisel yang sudah tak bergerak, kemudian mencabut pedangnya dan meringkuk kelelahan, membiarkan mayat Gisel rubuh ke tanah.
"Ughhh..."
Brie menoleh ke arah rintihan itu. Mail tengah merayap ke arahnya dengan tubuh penuh sayatan-sayatan yang terus mengucurkan cairan merah. Di belakang pemuda itu, Sekar tengah membuntut dengan langkah pelan.
Kembali tertawa-tawa, Sekar mengangkat kedua sabitnya yang menetes-neteskan darah.
Kalau tadi Brie berani menghabisi Gisel karena tersulut amarah dan dendam, kali ini ia cuma bisa membeku di tempatnya. Kegentaran seolah telah mengikat tubuhnya ke bumi. Ya, bayangan-banyangan gila itu membuat semuanya tak sama lagi.
Reagnum, para pembangun neraka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
ФэнтезиNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...