Sudah mengetuk berkali-kali tapi tak mendapat jawaban dari kamar Mail, Brie memutuskan untuk turun ke lobi hotel. Di sana, ia menemukan Mail tengah duduk di sofa sambil menonton televisi. Karena Brie asal datang ke hotel, mereka cuma mendapat fasilitas seadanya, tanpa televisi di kamar masing-masing.
"Udah mau berangkat?" tanya Mail saat menyadari kedatangan Brie. "Aku ndak berani bangunin kamu. Soalnya dari kemarin kamu kelihatan capek banget."
Brie melemparkan dirinya ke salah satu sofa di lobi yang kosong melompong itu. Ia langsung mengernyitkan dahi saat melihat adegan ajaib di televisi: ada seorang anak lelaki yang menaiki bebek terbang ukuran besar.
"Besok saja. Aku tadi telepon bengkel, mobil Revan belum selesai diperbaiki. Kacanya baru datang besok." desah Brie pelan, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. "Lagipula, aku ingin beristirahat dulu."
"Berarti kita nunggu terus di sini?"
Brie menerawang ke atas, menimbang-nimbang. "Bagaimana kalau nanti malam kita ke club, atau kafe, atau di mana pun yang menjual alkohol. Aku ingin minum."
Mail tertawa canggung. "Yah, datang ke tempat seperti itu bukan termasuk gaya hidupku, Brie. Lagian, apa alkohol akan memberi efek ke kamu? Aku dulu pernah dipaksa minum sama teman-temanku, tapi aku ndak mabuk-mabuk."
Desahan kecewa keluar dari mulut Brie. Ia lupa kalau pelarian utamanya di saat-saat sulit itu sudah tak berguna. Kalaupun memaksa datang ke tempat seperti itu sendirian, ia yakin tak ada gunanya.
"Kalau begitu, ajak aku ke tempat yang menarik, Mail," pinta Brie.
"Ke mana emangnya?"
"Terserah kamu, pokoknya bisa untuk bersenang-senang. Biasanya kamu melakukan apa kalau bosan?" tanya Brie dengan nada tak bersemangat.
"Hmmm... Ndak banyak yang bisa aku lakukan. Aku ndak pernah pegang uang banyak. Ah..." Mail menjentikkan jari. "Paling-paling aku pergi nemenin anak-anak panti buat ngeliat pasar malam. Kemarin aku lihat ndak jauh dari sini ada pasar malam..."
Makin lama suara Mail makin mengecil. Dan anehnya, sekarang pemuda itu malah menunduk. Saking herannya dengan tingkah pemuda itu, Brie sampai menautkan alis.
"Pasar malam? Tempat berjualan di malam hari?" tanya Brie.
"Itu... Emang banyak yang jualan sih, tapi ada wahananya juga, rumah hantu, bianglala, sirkus..."
Kali ini Mail justru meringis.
Sedikit geli dengan kelakuan Mail, Brie tersenyum tipis. "Mirip festival, ya? Baiklah, kita ke sana, daripada melamun terus di sini."
***
Sejak kedatangannya di lapangan yang menjadi tempat pasar malam itu, Brie cuma mendapati orang-orang berlalu-lalang, penjual-penjual, aroma-aroma makanan, serta wahana-wahana permainan. Bagi Brie semua itu tidak terlalu menarik. Ditambah dengan batagor yang tengah dikunyahnya itu begitu alot bak permen karet, ia jadi ingin kembali ke hotel saja.
"Aah, di sini ndak ada yang menarik, ya?" tanya Mail yang tengah membawa dua gelas es teh. Ia meringis saat mendapati wajah Brie yang sama sekali tidak menunjukkan rasa antusias.
"Tidak, kok," jawab Brie, menghargai usaha Mail yang membawanya ke tempat itu. Tak mau suasana bertambah canggung, Brie menunjuk ke bianglala yang ada di tengah pasar malam. "Kita naik itu saja, yuk."
Tanpa meminta persetujuan, Brie menghampiri penjaga bianglala. Setelah membayar untuk dua orang, mereka memasuki wahana yang dihiasi lampu-lampu berbagai warna itu.
"Wah, seumur-umur aku baru naik bianglala," ucap Mail saat dirinya dan Brie duduk berhadapan.
Brie jadi ingin tertawa saat melihat kadar antusiasme yang tak seharusnya diperlihatkan oleh pria seumuran Mail.
"Hmmm... Suara yang menarik," gumam Brie ketika mendengar derit keras wahana yang mulai naik. Sehabis mengunyah potongan terakhir batagornya, ia membuang pandangan ke lapak-lapak, tenda-tenda, serta orang-orang di lapangan yang seolah makin mengecil.
Wahana itu terus bergerak, tapi keduanya tak kunjung buka suara, bahkan sampai hitungan menit. Merasakan kecanggungan yang aneh, Brie melirik kepada Mail, yang tengah menyedot es teh dan ikut memandang ke luar.
Setelah memikirkan topik secara acak, akhirnya Brie bertanya, "Jadi, kenapa kamu masih mengikuti aku? Setelah kejadian-kejadian mengerikan itu, tidak ada yang menyalahkan kalau misalnya kamu memilih mundur."
"Ah, bagaimana ya?" Kali ini Mail menatap Brie dalam-dalam. Ia membisu sejenak, baru kemudian menjawab, "Seperti yang pernah kubilang, aku ini pernah ngerasain kehilangan orang yang paling aku sayangi. Melihat Tiara kehilangan ayahnya, aku seperti diingatkan tentang sakitnya ditinggal orangtua. Intinya sih, aku cuma ndak ingin orang lain punya nasib seperti aku."
Menurut Brie jawaban itu memang masih naif, tapi lebih mudah dicerna daripada cerita mengenai orang yang terinspirasi superhero, atau karena merasa menolong orang adalah panggilan hati.
"Itu satu, satunya lagi karena kamu..."
Perkataan Mail terpotong oleh suara pintu wahana yang dibuka.
"Karena aku apa?" tanya Brie penasaran. Tanpa sebab jelas jantungnya seperti baru disengat aliran listrik kecil.
"Ah, bukan apa-apa, kok," jawab Mail, bangkit sambil membuang muka. "Yuk, waktu kita udah abis."
Meski makin penasaran, Brie tak sanggup bertanya lebih lanjut. Hatinya mulai diisi ketakutan yang tak jelas sumbernya. Instingnya secara tak lazim berkata: bila Mail melanjutkan perkataan itu, semuanya tak akan sama lagi.
"Mau ke mana lagi, nih?" tanya Mail, kembali meringis kaku.
Brie sudah akan meminta untuk pulang, tapi segera menahan diri. Tanpa sebab jelas, ia mulai menikmati jalan-jalan ini. "Kita jalan-jalan lagi saja dulu. Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang menarik."
Mereka melanjutkan perjalanan, lagi-lagi dengan mulut yang membisu. Seperti tadi, hal itu bertahan sampai bermenit-menit.
"Kita pulang saja, rasanya..." Brie ingin berkata bahwa suasana menjadi semakin aneh, tetapi rasa malu tiba-tiba menyerangnya.
Mail mengangguk pelan. "Oke..."
Brakkkk!!!
Kaget karena suara benturan itu, Mail dan Brie melongok ke area parkir pasar malam. Ada dua tubuh yang tergeletak di dekat barisan motor. Melihat seorang anak balita yang terduduk di dekat tubuh-tubuh itu, Mail langsung berlari mendekat.
Orang-orang segera datang mengerubungi pasangan lelaki dan wanita yang menjadi korban kecelakaan itu, sementara Mail berjongkok di hadapan sang balita yang mulai menangis. Mail dengan sengaja menghalangi pandangan si balita dari para korban yang kepalanya berlumuran darah.
"Mamah!!! Ayah!!!" Tangis balita perempuan itu makin keras.
"Kamu ndak kenapa-napa?" tanya Mail sambil memeriksa tubuh balita itu. Tak menemukan sedikit pun luka, dengan sigap Mail menggendongnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar lalu menghampiri seorang penjual balon berbentuk binatang. Sambil menunjuk balon-balon itu, Mail berkata, "Tuh, lihat. Kamu mau balon?"
Tak mau dibayar oleh Mail, si penjual menyerahkan satu balon kepada si balita. Awalnya si balita menolak. Ia baru menerima balon itu setelah Mail membujuknya dengan candaan. Perlahan tapi pasti, tangisnya pun mereda.
Brie yang mengamati adegan itu dari kejauhan cuma bisa bertanya-tanya, mengapa jantungnya berdegup liar dan mukanya seperti disambar hawa panas?

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden Enigma
FantasíaNama wanita muda itu adalah Brie. Sebagai pembunuh bayaran, ia sama sekali tak menghargai nyawa manusia. Demi memuluskan pekerjaan gelapnya itu, ia rela menyamar, menelusup ke tempat berbahaya, sampai memanfaatkan kemolekan fisiknya untuk menipu kor...