Prospect

3K 258 7
                                    

Suasana kelas menjadi hening. Semuanya kembali menjadi canggung. Wajah Masri dan Ahruz yang semula hanya lebam kini mulai di penuhi dengan darah mereka sendiri. Yuki menutup telinga sambil menghadap tembok, kejadian itu membuatnya sedikit traumatis. Melly syok berat melihat keadaan teman-temannya, dengan lemas ia terduduk di tempat dengan tatapan kosong. Yang terdengar hanya suara Sita yang terus menangis karena takut.

Keadaan menjadi 'tenang', hampir semua nya diam dengan tatapan kosong, beberapa berbicara dengan suara berbisik. Amir masih berdiri, tak dipungkiri jika ia sebenarnya juga ingin menangis seperti Sita dan bersembunyi karena takut seperti Yuki, namun, ia tidak bisa, ia harus tetap menjaga wibawanya di depan semua teman-temannya sebagai seorang pemimpin.

"Mel, gimana?" Tanya Amir membuyarkan lamunan Melly. Ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Gue ikut!" Kata Zahra cepat.

"Beiiibbbb, kok lo ikut? Gue gimana?" Rengek Sita.

"Gue ikut!" Kata Fahya. Sita terkejut, kedua sahabatnya akan pergi.

"Beeeiiiiibbbb..." Gerutu Sita sambil memanyunkan bibirnya. Amir menghela nafas berat.

"Yu..." Amir menghentikan ucapannya saat melihat Yuki yang masih terdiam dengan tatapan kosong.

"Ssttt...!" Arin menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. "Gue ikut!" Lanjut Arin.

Dan hasilnya, Melly, Zahra, Fahya, Sita, Arin, Madi, Septi, Tiwi, dan Rianis yang akan pergi.

"Gue perlu satu cowok lagi...!" Kata Melly lantang. Tatapannya mengarah Masri yang masih duduk dengan noda darah di wajahnya. "Masri!" Kata Melly.

Semuanya mengosongkan isi tas mereka agar mampu menampung lebih banyak banyak makanan, kecuali Melly, yang tak mau satu pun mainan di tasnya berpindah ke tempat lain.

"Eh, entar kalo di jalan gue gak mau, ya, denger suara lo teriak apa lagi nangis." Canda Melly pada Sita, mencoba mencairkan suasana.

"Pengamatan bodoh!" Gerutu Melly pelan saat hendak keluar, Zahra menoleh, melihat Melly yang sepertinya bicara sendiri.

Usai kepergian teman-temannya, Amir mencoba menenangkan murid yang masih berada di kelas.

"Kok Melly ngajak Masri?" Tanya Pena penasaran. Amir mengangkat bahu.

"Pasti tuh anak punya rencana..." Sahut Isti yang ternyata ikut mendengarkan.

"Dia nyoba nyingkirin Masri dari kita?" Yuki akhirnya bersuara.

"Nekad! Kalo berhasil, kita semua bakal selamat. Tapi..." Isti tak melanjutkan ucapannya.

"Kalo gagal, ada kemungkinan mereka di bantai Masri, terus, Masri marah dan ngebunuh kita semua...!" Sahut Pena.

"AAAAA!" Teriak Amir sembari mengangkat tangan, meregangkan otot-ototnya yang mulai kaku.

"Udahlah, gak usah terlalu di pikirin, entar lo jadi gila!" Canda Amir.

"Ya..., kalo gue sih cuma berharap tuh anak gak mati buat yang kedua kalinya..." Kata Jesi ketus.

"Perasaan, dari kemaren lo terus deh yang nyumpahin orang mati... Entar kalo lo yang kaya gitu, baru tau lo..." Kata Amir. Semua tertawa, sedangkan Jesi mendengus kesal.

"Kemungkinan tercepat, mereka bakal nyampe sebelum sore, karena deket. Tapi kalo lebih dari itu, gue gak bisa ngira-ngira kemungkinan yang bakal mereka hadapin..." Kata Pena.

Hari terasa lebih lambat dari sebelumnya, para murid 2-2 yang masih berada di kelas merasa gelisah. Takut jika Melly dan yang lainnya gagal, Masri akan membantai mereka semua. Kelas hening, tak ada hiruk-pikuk seperti biasanya, entah karena saling bercanda ataupun karena ketakukan mereka terhadap para zombie.

Yuki menatap seisi kelas. Semuanya tampak seperti bukan diri mereka yang sesungguhnya, dengan tatapan kosong dan kepala yang berisi penuh dengan pikiran akan keselamatan diri mereka masing-masing.

Dengan putus asa, Yuki mecoba meraih tas untuk mengambil ponselnya, dan mencari nama seseorang di kontak telponnya.

"Tut... Tut... Tut....!" Panggilan berakhir. Jaringan ponsel kini sudah tidak ada. Keadaan makin memburuk.

"BRAKK!!!" Dengan keras, Yuki melempar ponselnya ke arah dinding di depannya. Semua menatap Yuki yang mulai frustasi.

"Ya, kalo mau lempar, hati-hati mba...!" Amir mencoba mencairkan suasana. "Ini kepala, loh, ya..., kalo kena, saya yang bisa..."Amir menjatuhkan badan sambil memegang kepala, berakting mati. Candaan Amir mampu meredam sejenak pikiran tentang kematian yang mungkin akan segera menghampiri mereka, namun tawa dan ekspresi ceria itu tak mampu bertahan lama. Semuanya kembali diam dan suasana kembali hening.
To be continued...


Happy read!
Jangan lupa buat vote dan komen...
Hehehe

Bloody School AssignmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang