Worried

2.9K 273 25
                                    

Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Amir dan murid lain masih menunggu dengan gelisah.

"Gue gak bisa terus diem di sini!" Kata Nia yang akhirnya kalah dengan rasa takut yang terlalu besar, yang mendorong nya untuk memberontak. Kali ini Amir hanya diam, tak mencoba menghentikan Nia seperti pada teman-teman sebelumnya. Pena yang melihat itu, langsung mencoba mencegah Nia. Sayangnya, karena tubuh dan tenaga yang lebih besar, Pena malah ikut terseret Nia yang terus melangkah ke arah pintu.

"NIA!!!" Teriak Pena kesal. Langkah Nia terhenti lalu berbalik untuk melihat Pena. Ia hanya diam.

"Nia, bisa d kelas aja gak sih?" Kata Pena putus asa. "Lo mau mati sendirian di luar? Di makan sama makhluk bodoh yang kelaparan itu?" Lanjut nya berharap Nia mau mendengar. Namun Nia masih diam, saling bertatapan dengan Pena.

Tiba-tiba Nia malah berbalik arah dan kembali melanjutkan langkahnya, membuka pintu lalu keluar. Pena terpaku memandang kawannya yang mulai menjauh dari pintu.

Pikiran Pena mulai kacau, ia marah, benar-benar marah. Dengan kesal karena ucapannya tak di dengar, Pena melangkah keluar pintu. Bau menyengat dari darah yang menyelimuti lantai koridor sekolah serta kabut bau tipis di mana-mana tak ia gubris. Ia terus melangkah menemui Nia yang mendahuluinya di depan.

Amir mencoba melihat dari jendela, bagaimana keadaan kedua kawannya itu. Pikirannya terpecah antara menyelamatkan dirinya dan seluruh sisa teman di kelas atau mengambil resiko dan mencoba menyelamatkan Nia dan Pena. Ia bingung, terutama saat ia melihat dari kejauhan tampak sesuatu bergerak mendekat. Amir mencoba berteriak memanggil Nia dan Pena untuk memperingati jika bahaya mendekat. Namun, mereka berdua tak menggubrisnya.

"NIAAA, BERHERTI!!!"  Teriak Pena. Amir yang sudah putus asa melihat keadaan mereka akhirnya menutup pintu dengan cepat. Kali ini Nia dan Pena langsung menoleh, jantung mereka berdegup kencang karena tau pasti ada sesuatu yang buruk. Mereka terdiam sejenak,saling tatap, lalu dengan cepat berlari menuju ke arah kelas.

Di dalam kelas, Amir menyuruh semua teman-temannya agar diam di tempat dan tidak mendekati pintu. Terdengar suara langkah kaki cepat serta teriakan yang makin menjadi. Para monster itu berhasil menangkap Pena dan Nia.

"Sstt!" Desis Amir pada teman-temannya. Rasa bersalah yang ia rasakan karena tak membiarkan Nia dan Pena masuk terlalu lemah jika dibandingkan dengan rasa takut yang ia rasakan kini. Tak kalah dengan Amir, Tika terlihat gemetaran dan berkeringat dingin di samping Yuki.

"Gue gak mau nyesel lagi kayak waktu Angel terinfeksi!" Kata-kata itu keluar dengan tegas dari mulut Tika yang masih gemetar. Ia mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri.

Amir yang kesal sedikit berteriak sembari menutup telinga dan menggeleng-gelenkan kepala.

Dengan perasaan yang campur aduk, Tika mendekati pintu sembari berpikir keras.

"Gue tinggal buka pintu cepet, tarik mereka berdua masuk dan kita semua selamat!" Gumam Tika dalam hati dan mulai memegang ganggang pintu. Menurutnya, semua hal telah ia perhitungkan dengan baik. Tangannya kini siap untuk membuka ganggang pintu.

"Krek!" Pintu sudah terbuka. Namun, semua di luar dugaan, tepat di depannya berdiri sosok mengerikan dengan noda darah di mulutnya, mata yang sudah putih pasi dan tonjolan kecil di kepala. Tika menjerit ketakutan diikuti murid lain yang masih berada di dalam ruang kelas. Dengan cepat, makhluk mengerikan itu menarik Tika dan menyerangnya tanpa ampun.

Teriakan para murid menggema di mana-mana. Suara Tika,Pena dan Nia tak kalah mengerikan saat para monster itu mencabik-cabik kulit serta daging mereka. Para murid yang berada di dalam kelas harus melihat kejadian itu. Dengan gemetar Oki mencoba meremas kapur anti serangga yang selama ini mereka gunakan untuk melindungi kelas mereka, kemudian meleparkannya pada makhluk terdekat yang sedang menikmati makan malamnya. Ia meniru Melly yang pernah melempar serbuk putih yang ia yakini adalah kapur anti serangga itu pada Alwa.

Tak lama, zombie yang terkena lemparan kapur Oki mulai bereaksi. Suaranya tak kalah melengking, kemudian menggeliat seperti cacing yang kepanasan.

Dengan segera Amir menarik tubuh Oki agar menjauh dari pintu kemudian menutupnya rapat. Napas para murid terdengar tak beraturan karena jantung mereka yang berdetak lebih cepat. Mereka ketakutan. Yuki mulai meneteskan air mata, diikuti Jesi dan Isti. Dan akhirnya Amir pun tak kuasa menbendung air mata nya, ia menangis karena rasa takut dan rasa bersalahnya pada ketiga kawannya itu.
To be continued...













Waaahhh!!!!
Gak kerasa udah nyampe kebagian ini...
Hehehe..
Oh ya, mau minta maaf buat yang kemaren protes ceritanya kedikitan tiap chapter nya...
Sorry...
Cuma bisa ngetiknya segitu doang...
But, I wan to say thank you for everyone who stay in this story, gave a vote and comment in every chapter...
Hahaha
Thanks ;)

Bloody School AssignmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang