"Apa kau butuh sesuatu?" tanya Alan pada orang yang sedang diteleponnya.
"Hanya butuh teman."
Alan menyeringai. Dia bisa membayangkan bibir Destia mengerucut kesal ketika mengatakan itu. Tanpa sadar Alan menjilat bibit bawahnya seperti ingin mengingat kembali rasa bibir Destia ketika bersentuhan dengan bibirnya.
"Kalau kau tidak bersikap sok jagoan seperti kemarin, kau tidak akan terkurung di rumah." Tegur Alan.
"Lalu aku harus diam saja?"
"Ada banyak orang yang bisa kau mintai bantuan." Jelas Alan singkat.
Dia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Destia. Apa yang dilakukan Destia sudah benar karena tidak selamanya orang lain bisa melindungi kita. Akan ada saatnya kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri dalam situasi darurat.
Tapi tidak ada salahnya juga mengingatkan agar lain kali wanita itu tidak menanggung luka sendirian seperti ini padahal ada banyak rekan yang dengan senang hati akan menolongnya.
"Aku tidak sempat berpikir sampai ke sana ketika orang itu berbuat mesum padaku."
Alan hanya tersenyum kecil dan memilih tidak memperpanjang perdebatan. "Kalau kau memang tidak butuh apapun, aku harus kembali bekerja."
"Baiklah."
Destia terdengar kecewa tapi tidak membantah.
Kegembiraan yang aneh itu kembali muncul di hati Alan ketika merasakan keengganan Destia menutup telepon.
Alan mendesah sambil menyandarkan punggung. Kedua sikunya diletakkan di lengan kursi sedangkan jemarinya saling mengait di atas perut. Kepalanya mendongak menatap langit-langit ruangannya di Fly Club.
Akhir-akhir ini Alan sering bertanya apa yang terjadi dengan hatinya. Rasa aneh itu terus-menerus muncul.
Seperti inikah yang dirasakan Rafka ketika bertemu Rena?
Belum sempat Alan menemukan jawaban akan pertanyaannya, sebuah ketukan membuyarkan lamunan Alan.
"Masuk!" perintah Alan tenang sambil menegakkan punggungnya kembali.
Dian membuka pintu tapi hanya berdiri di ambang pintu. "Bos, ada tamu spesial untukmu."
Alan mengerutkan kening bingung. "Sepertinya aku tidak punya janji temu dengan siapapun. Dan kenapa kau tidak mengantarnya ke sini?"
"Dia alergi dengan ruangan ini."
Seketika Alan mengerti siapa orang yang dimaksud Dian. Dia tersenyum seraya berkata, "Baiklah, aku akan turun sebentar lagi."
Dian mengangguk lalu menutup pintu ruangan Alan kembali. Alan sendiri segera membereskan pekerjaannya. Siapa lagi orang selain Rafka yang alergi dengan ruangan yang pernah menjadi tempat kesukaan Maya ini?
Walau sahabatnya itu masih sering kali datang berkunjung ke Fly Club, tapi dia tidak pernah mau menginjakkan kaki di ruangan ini. Padahal Alan sudah mengubah tempat ini secara drastis hingga tidak ada lagi jejak Maya yang tersisa. Tapi tentunya Alan tidak bisa memaksa Rafka. Luka psikis yang dideritanya begitu dalam.
Selesai memastikan tidak ada dokumen yang tertinggal, Alan keluar.
Di dalam club yang hingar bingar dan remang, Alan bisa melihat punggung tegap Rafka yang sedang duduk di kursi bar. Lelaki itu tampak berbincang dengan para bartender sambil sesekali tertawa.
Alan menghampiri sahabatnya itu lalu menepuk bahunya sedikit keras. "Mana istrimu?" tanya Alan sambil duduk di sebelah Rafka.
Rafka berdecak kesal. "Apa kau lupa istriku sedang hamil besar? Memohon pun tidak akan kuizinkan dia datang ke club."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...