Alan menarik nafas beberapa kali untuk memberanikan diri membuka pintu rumahnya. Dia sudah merancang banyak kata-kata permohonan maaf di benaknya kepada Destia atas apa yang telah dilakukannya. Terutama permohonan maaf karena dirinya tidak berani menghadapi Destia tadi pagi dan malah melarikan diri seperti pengecut.
Begitu menutup pintu kembali, Alan menatap sekeliling rumahnya dengan perasaan tidak nyaman. Seolah ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Yang jelas, keheningan yang menyambutnya seperti sedang mengejek dirinya.
Dengan ragu, Alan berjalan semakin jauh ke dalam rumah. Refleks, langkahnya menuju ruang tengah dimana Destia biasa menghabiskan waktu menonton tv atau membaca. Karena tidak menemukan orang yang dicarinya di ruang tengah, langkah Alan terus menuju dapur.
Kondisi dapur rapi seperti biasa. Yang membedakan hanya sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya di atas meja. Sepertinya belum sempat dimakan dan hanya diaduk-aduk saja.
Perasaan cemas muncul begitu saja. Alan langsung berbalik dan tanpa sadar berlari menuju lantai dua. Jantungnya berdegup kencang ketika ia berkali-kali memanggil nama Destia.
Tempat yang Alan tuju pertama kali di lantai dua adalah kamar Destia. Namun seperti bagian rumah yang lain, tempat itu kosong. Dengan khawatir Alan memeriksa seluruh bagian kamar untuk memastikan tidak ada bekas kekerasan.
Setelah yakin tidak ada tanda-tanda aneh di seluruh bagian kamar itu, Alan melirik lemari pakaian. Timbul perasaan takut di hatinya. Bagaimana kalau Destia marah lalu pergi dan meninggalkannya?
Tidak puas hanya dengan menduga, Alan menghampiri lemari lalu membukanya. Pakaian Destia tampak terlipat dan tergantung rapi. Dia juga melihat peralatan make-up Destia masih tertata di meja rias, walau dirinya tidak mengerti apa ada alat rias itu yang hilang.
Mungkin Destia sedang berbelanja ke toko, pikir Alan mencoba menenangkan diri.
Saat ini Alan baru benar-benar memahami betapa pentingnya memiliki ponsel. Seharusnya dia membelikan Destia ponsel agar dirinya bisa mudah menghubungi. Kalau seperti ini, Alan hanya bisa menunggu dengan gelisah.
Setelah berhasil menenangkan diri, benaknya kembali mengingat makanan di dapur tadi. Destia tidak mungkin meninggalkan makanannya begitu saja hanya untuk pergi ke toko. Paling tidak, dia akan menyimpan makanan itu dengan benar agar tidak dihinggapi serangga.
Perasaan takut mulai merayapi hati Alan. Sepertinya Destia pergi dengan terburu-buru. Dia kembali memutar otak untuk menemukan petunjuk kira-kira dimana Destia berada.
"Kamarku." Gumam Alan sambil keluar menuju kamarnya. Terakhir kali dirinya meninggalkan Destia, wanita itu sedang terlelap di ranjangnya.
Kamar Alan sama kosongnya seperti kamar Destia. Yang membedakan hanya sprei dan selimut yang telah diganti dan pakaian yang tadi pagi berserakan telah dibenahi.
Dia menyusurkan jemari di antara helai rambut dengan frustasi. Ketakutannya meningkat. Bagaimana kalau ada orang jahat yang menculik Destia? Atau mungkin saja sama seperti kejadian ketika Ratna diculik seperti yang pernah diceritakan Freddy.
Alan sudah hendak berbalik keluar kamar ketika secarik kertas di atas nakas mencuri perhatiannya. Perlahan Alan meraih kertas itu lalu membacanya.
--------------------
Papa menjemputku. Entah dia tahu darimana bahwa aku tinggal di sini. Sekarang aku harus ikut pulang bersamanya.
Destia.
--------------------
Kelegaan langsung memenuhi dada Alan. Dia terduduk di tepi ranjang sambil mengulang-ulang membaca pesan singkat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romansa[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...