28

53.5K 4.6K 351
                                    

Keluarga Rafka menikmati hari menjelang malam dengan secangkir teh dan camilan. Mereka sedang berkumpul di ruang tamu. Beberapa lembar selimut ditata di atas lantai menjadi tempat yang cukup nyaman dan hangat bagi si kembar.

"Des, sudah kirim lamaran ke sekolah yang Om saranin beberapa hari yang lalu?" tanya Pak Gun kepada Destia yang sedang mengajak si kembar berbicara.

"Sudah, Om. Sekolahnya bagus. Katanya mereka akan memberi kabar akhir minggu ini."

"Sekolah Taman Kanak-Kanak?" tanya Rafka.

"Iya. Aku sedikit tegang karena ini pertama kalinya aku melamar pekerjaan padahal aku sudah cukup lama lulus kuliah." Jelas Destia.

Bu Yuni tersenyum lalu meremas jemari Destia. "Kalau memang rezeki, pasti kamu akan diterima."

"Iya, Tante." Destia balas tersenyum.

Sejak Alan menyarankan agar Destia mengejar impiannya, dia sudah memikirkan hal itu berulang-ulang. Sampai kemudian Destia mengemukakan keinginannya pada keluarga Pak Gun. Mereka mendukung bahkan membantu memberi saran sekolah-sekolah yang bisa Destia coba. Dan Destia sudah mengirim beberapa lamaran. Sekarang tinggal menunggu hasilnya.

Saat seperti ini, dimana keluarga Omnya berkumpul dan saling berbagi cerita, perasaan rindu Destia muncul tiba-tiba. Dia merindukan Mamanya. Juga merindukan Alan. Bahkan tanpa bisa dicegah, perasaan rindu kepada Diaz juga ada.

"Kau memikirkan Kak Alan lagi?" Rena berbisik menggoda Destia.

"Sepertinya iya." Jawab Destia jujur.

"Padahal sudah tiap hari kalian saling telepon." Rena masih menggoda.

Destia mencibir. "Mudah sekali kau berkata seperti itu karena bukan Rafka yang pergi."

"Apa ada yang menyebut namaku?" Rafka yang semula duduk di sofa bersama Pak Gun dan Bu Yuni, pindah duduk di atas selimut menemani bayi kembarnya.

"Destia merindukan Kak Alan, katanya."

"Aku lebih rindu lagi." Sahut Rafka dengan wajah sedih.

Di luar dugaan, Destia dan Rena malah memukuli Rafka dengan bantal si kembar.

"Kau ini! Seperti suami yang cemas karena istri keduanya pergi jauh!" seru Rena.

"Jangan coba-coba membuat Kak Alan berpaling dariku!" Destia tidak mau kalah.

"Kalian kenapa? Wajarkan kalau aku merindukan sahabatku!" Rafka berusaha melindungi kepalanya dari amukan kedua wanita itu.

Pak Gun dan Bu Yuni hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah ketiga orang itu.

"Si kembar begitu tenang. Tapi malah mereka bertiga yang tingkahnya melebihi anak kecil." Gerutu Bu Yuni sambil menyesap tehnya.

"Untung saja tidak ada Freddy. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa tingkah mereka jika bocah satu itu juga datang." Ujar Pak Gun tanpa mengalihkan pandangan dari anak, menantu dan keponakannya.

"Ternyata Papa lebih parah dari Rafka. Papa malah merindukan Freddy." Gerutu Bu Yuni seraya meraih bantal sofa lalu memukul Pak Gun. "Ingat umur, Pa. Dia jauh lebih muda dari Papa."

"Mama hanya mencari alasan untuk memukul, kan? Jangan kira Papa tidak bisa membalas." Pak Gun juga mengambil bantal sofa yang lain lalu membalas Bu Yuni.

Mendengar kedua orang yang sudah lanjut usia itu saling memukul dengan bantal sambil tertawa, Rafka, Rena dan Destia langsung menghentikan aksi saling serang mereka. Ketiganya melongo menatap sepasang orang tua yang kini bertingkah seperti remaja kasmaran.

The Guy and Little Girl (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang