Info buat readers. Cerita ini mengandung unsur dewasa dan alur yang tak menyenangkan. Bagi yang merasa masih belum cukup umur, harap kembali dan cari bacaan lain.
----------------------
Nia masih menatap telepon genggam di tangannya dengan kesedihan yang terukir jelas di wajah. Wanita paruh baya itu mendesah. Tak terasa air mata menitik membasahi pipi tirusnya.
"Apa Destia yang menelepon?"
Nia tersentak. Segera dia menggosok pipi untuk membersihkan jejak air mata, sebelum berbalik menghadap suaminya, Indra Effendi.
"Iya, Mas." Jawab Nia lirih.
"Dimana dia sekarang?" Indra bertanya dengan nada dinginnya yang sudah akrab di telinga Nia.
"Dia tidak bilang."
"Dan kau tidak menanyakannya? Ibu macam apa kau ini?" bentak Indra.
"Mas, Destia sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Kalau.....memang dia tidak setuju dengan perjodohan ini, alangkah lebih baik dibatalkan saja. Destia berhak memilih pendamping hidupnya."
"Wanita tidak berhak membuat keputusan! Begitu dia dilahirkan, hidupnya berada di tangan orang tuanya. Lalu ketika dia menikah, hidupnya berada di tangan suaminya. Karena itu, sebagai Papanya aku yang lebih berhak membuat keputusan tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya."
Itu namanya egois, Mas. Sekarang sudah bukan zamannya lagi wanita hanya tinggal di dalam rumah dan mengikuti kemauan para lelaki. Hak wanita untuk membuat keputusan juga sama. Dan bukankah selama ini Destia sudah begitu penurut? Tidak bisakah untuk urusan pernikahan ini giliran Destia yang menentukan sendiri?
Semua kalimat itu sudah siap di ujung lidah Nia. Tapi seperti biasa, yang dilakukannya hanya menangis dan memendam sendiri gejolak hatinya. Sedari dulu dia tidak pernah menyanggah ucapan suaminya, sekalipun itu begitu melukai hatinya.
Dalam hati, Nia mengutuk dirinya sendiri karena begitu lemah. Bahkan untuk melindungi putri semata wayangnya saja dia tidak sanggup.
"Kalau Destia menelepon lagi, katakan padanya bahwa aku akan tetap menikahkannya dengan lelaki pilihanku. Tidak peduli walau dia melarikan diri sampai ke ujung dunia, aku akan tetap menemukannya. Kalau dia cukup punya nyali untuk menghindari pernikahan yang sudah kurancang ini, sebaiknya dia bunuh diri saja." Selesai berkata demikian, Indra langsung berbalik meninggalkan Istrinya.
Nia sendiri hanya bisa menangis tertahan mendengar ucapan suaminya yang begitu menyayat hati. Dalam hati dia berdo'a semoga putrinya diberi ketabahan dan kekuatan untuk hidup di luar sana seorang diri.
***
Destia menatap dengan penuh kekaguman seluruh bagian ruang kerja Alan di Fly Club. Siapapun yang melakukan penataan jelas memiliki selera yang tinggi akan keindahan dan kenyamanan.
Beberapa tanaman hias ditata di salah satu sisi untuk memberi kesan sejuk. Sofa dan meja kopi memenuhi sisi yang lain. Juga ada sebuah lemari kaca yang digunakan khusus untuk memajang pesawat dan kapal besar yang terbuat dari kayu berpelitur.
Destia berdecak. Rupanya si Paman yang terlihat dewasa punya sisi kekanakan juga.
Sebuah minibar di salah satu sudut menarik perhatian Destia. Wanita itu mengamati satu per satu barisan botol minuman yang ditata rapi. Banyak sekali jenisnya. Mulai dari yang berkadar alkohol rendah hingga tinggi. Destia merasa geli melihat minibar itu padahal ada bar sungguhan hanya beberapa meter dari ruang kerja itu.
Lalu pandangan Destia beralih pada meja kerja besar yang mendominasi ruangan. Destia mendekati meja itu lalu menyusurkan jemari di permukaannya yang halus dan bersih. Sorot matanya penuh kekaguman ketika dirinya mengelilingi meja lalu berhenti di dekat kursi putar di belakang meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...