Sambil ditemani teh yang mengepul hangat dan sepiring biskuit, Alan dan Destia duduk santai di teras belakang rumah. Di hadapan mereka terhampar taman bunga dengan kolam ikan tepat di tengahnya.
"Jadi, kau sudah lebih dulu bekerja di Fly Club daripada Rafka?" tanya Destia. Entah itu sudah pertanyaan keberapa yang ia ajukan. Sedari tadi yang mereka lakukan adalah saling bertanya untuk lebih mengenal satu sama lain.
Alan mengangguk. "Iya. Maya—pemilik Fly Club yang lama—menemukanku sedang mengemis di pinggir jalan. Ia membawaku lalu menjadikanku salah satu pekerjanya." Dia sengaja tidak mengungkit bahwa Maya adalah ibu kandung Rafka.
"Kau sudah bekerja seperti itu sejak masih berusia enam belas tahun?" Destia tidak bertanya tentang alasan Alan mengemis karena lelaki itu sudah menceritakan garis besarnya tadi.
"Jangan menatap iba padaku." Alan berkata dengan nada mengancam. "Itu sudah lama sekali."
Destia membelalakkan matanya ke arah Alan. "Lalu aku harus menatap seperti ini? Yang benar saja." Gerutu Destia kesal. "Memang sudah mataku seperti ini."
Alan terkekeh lalu menarik bahu Destia agar bersandar padanya. "Maaf, aku hanya tidak suka dikasihani."
Destia tidak menjawab. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Alan dan mencari posisi yang nyaman untuk bersandar ke tubuh lelaki itu. Setelahnya mereka terdiam. Saling menikmati momen kebersamaan mereka.
"Gadis kecil, aku ada janji temu dengan temanku dua jam lagi." Jelas Alan setelah melihat jam tangannya.
"Kau memanggilku 'gadis kecil' lagi." Gerutu Destia kesal.
"Kau sendiri sudah berhenti memanggilku 'kakak'. Padahal aku sudah mulai suka dengan panggilan itu." Balas Alan.
"Kakak, berhenti memanggilku 'gadis kecil'!"
"Aku tidak suka diperintah."
"Terserahlah!" seru Destia kesal.
Alan terkekeh ketika melihat wajah imut Destia yang merajuk. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau aku menikahimu, orang-orang pasti mengira bahwa aku pedofil. Wajahmu terlalu imut." Alan mencubit pipi Destia.
"Jadi kau lebih mementingkan pendapat orang lain?"
"Tidak juga." Sahut Alan sambil menyeringai. "Aku benar-benar harus pergi."
"Kalau begitu pergi saja." Destia melepaskan rangkulannya di pinggang Alan lalu menjauhkan diri.
"Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini."
"Kenapa? Khawatir Papa membawaku lagi lalu memisahkan kita?" tanya Destia dengan nada menggoda.
"Terlalu percaya diri." Dengus Alan. "Aku hanya takut kau membawa kabur barang-barang berharga di rumahku."
"Kakak!" pekik Destia kesal.
"Bagaimana pun aku harus waspada, kan?" Alan terus menggoda.
Mungkin Alan memang takut Papa Destia membawa wanita itu pergi lagi secara tiba-tiba. Tapi selain itu, Alan mulai mencemaskan peringatan Freddy. Siapapun yang berniat buruk padanya, pasti dengan mudah bisa menebak bahwa Destia cukup berarti bagi Alan. Bisa-bisa keberadaan Destia akan dimanfaatkan agar Alan tunduk.
"Aku akan pergi saja kalau kau tidak percaya padaku." Jelas Destia. Dia berdiri sambil membawa kedua cangkir yang telah kosong dan piring biskuit.
Alan mengikuti Destia yang menuju dapur untuk mencuci cangkir dan piring bekas mereka. "Des, aku serius tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini. Aku khawatir orang yang berniat jahat padaku malah mencelakaimu agar aku tunduk."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romansa[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...