Alan membaringkan tubuh Destia di atas ranjang dalam kamar yang telah diklaim wanita itu sebagai kamarnya. Tidak lupa Alan menata bantal agar Destia bisa berbaring dengan nyaman.
"Sebaiknya ganti pakaianmu dan jangan bilang kau tidak bisa melakukannya sendiri. Kecuali kau memang mau menawarkan tubuhmu padaku." Ujar Alan masih dengan nada tenangnya.
Refleks Destia menyilangkan lengan di depan dada. "Walaupun seluruh badanku terasa sakit, tapi aku masih bisa berganti pakaian sendiri." Ujar Destia dengan wajah memerah malu.
"Istirahatlah. Aku akan membuatkanmu teh." Setelah berbicara demikian, Alan langsung berbalik keluar kamar.
Langkah tenangnya membawa Alan menuju dapur. Dia melepas jaket kulit berwarna hitam pekat yang dikenakannya lalu menyampirkan jaket tersebut dengan asal di sandaran kursi ketika melewati sofa di ruang tengah. Masih dengan sikap tenangnya, Alan membuat teh dan menyiapkan sepiring omelet agar Destia bisa mengisi perut.
Saat ini penampilan luar Alan bisa menipu semua orang yang melihatnya. Padahal sikap tenang itu merupakan topeng untuk menutupi hatinya yang terasa begitu sakit dan sedang bergejolak hebat. Tapi begitulah dirinya. Dia tidak akan memperlihatkan pada siapapun—kecuali Rafka tentunya—bahwa sekarang Alan sedang berada di titik terendah kemampuannya untuk menjaga perasaan.
Dan selalu saja sama. Keluarga itulah yang selalu berhasil mencabik hatinya hingga begitu hancur.
Alan sudah berusaha mengabaikan keterikatannya dengan keluarga itu. Merelakan semua yang harusnya menjadi miliknya dan memilih menjadi orang yang paling rendah. Tapi rupanya takdir tidak mengizinkan demikian. Mau tidak mau, dia harus siap untuk kembali berhadapan dengan keluarga itu.
Keluarga Rayyandra.
Alan memejamkan mata untuk menghapus lamunannya yang sedang melayang tak tentu arah. Kembali dia menyibukkan diri dengan peralatan dapur.
Dia tahu Destia hanya berpura-pura lemah. Tentu saja wanita itu akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya karena aksi sok heroiknya. Tapi hal itu akan terjadi beberapa jam kemudian. Paling tidak besok pagi barulah Destia akan merasakan tubuhnya ngilu di berbagai tempat terutama wajah dan tangannya.
Bukan tanpa alasan Alan mengabaikan hal itu dan bersikap seolah tidak tahu. Dia hanya sedang membutuhkan sesuatu untuk menyibukkan diri. Sebelum kenangan itu datang membajir, dan menyeretnya kembali ke memori paling kelam dalam hidupnya.
Selesai dengan omelet dan teh yang dibuatnya, Alan segera menatanya di atas nampan lalu membawanya ke kamar Destia. Wanita itu terlihat sudah tidur ketika Alan datang. Tapi begitu nampan yang dibawanya diletakkan di meja nakas, Destia membuka mata.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Alan—masih dengan nada tenang—seraya duduk di sisi ranjang.
"Tidak terlalu baik." Wanita itu mengendus udara seperti anak kecil yang mencium bau kue. "Dan mendadak lapar. Apa yang Kakak buat?"
"Omelet." Jelas Alan sambil mengangsurkan segelas teh hangat. "Minum dulu."
Tangan Destia sama sekali tidak bergerak untuk mengambil gelas tersebut dari Alan. Dia malah membiarkan Alan yang membantunya minum.
"Sekarang makan!" perintah Alan sambil menyerahkan piring ke tangan Destia.
"Tanganku—"
"Baiklah, akan aku suapi. Tidak baik terus-menerus berbohong." Alan berkata dengan telak sambil mulai mengiris omelet lembut itu dengan sendok.
Wajah Destia memerah malu. Dia sangat ingin membantah untuk menyelamatkan harga dirinya. Tapi sepertinya hal itu malah akan membuatnya terlihat sebagai pembohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guy and Little Girl (TAMAT)
Romance[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] "Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?" "Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini." "Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali." Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha men...